Dairi, MitraBhayangkara.my.id – Aroma kekecewaan masih terasa di tengah masyarakat Buntu Raja, Kecamatan Siempat Nempu, Kabupaten Dairi. Warga mengeluhkan kebijakan PD Pasar yang mewajibkan pembayaran retribusi bagi mereka yang menempati lahan dan bangunan aset milik pemerintah daerah. (17 Oktober 2025)
Meski pemerintah berdalih kebijakan itu untuk menertibkan pemanfaatan aset daerah dan menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD), masyarakat menilai aturan tersebut tidak adil dan tidak mempertimbangkan kondisi ekonomi warga setempat.
Awalnya, PD Pasar menetapkan tarif retribusi sebesar Rp700 per meter per minggu, namun setelah mendapat penolakan keras dari masyarakat, tarif itu diturunkan menjadi Rp300 per meter.
Kendati demikian, warga Buntu Raja tetap bersikeras agar tarif tersebut dikurangi menjadi Rp50 per meter per minggu, dengan alasan pasar tersebut sudah lama tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
“Pasar ini sudah mati suri bertahun-tahun. Tidak ada aktivitas jual beli, banyak kios kosong. Jadi, tidak masuk akal kalau kami harus bayar sampai Rp300 per meter,” ungkap salah satu pedagang yang enggan disebut namanya.
Bahkan, sebagian masyarakat mengklaim telah memiliki sertifikat tanah di lokasi pasar tersebut, sehingga mereka mempertanyakan dasar penarikan retribusi. “Kami punya sertifikat atas tanah itu. Kalau memang itu aset daerah, seharusnya pemerintah bisa membuktikan dengan dokumen sah,” ujar warga lainnya.
Pemerintah daerah beralasan kebijakan retribusi ini berdasarkan ketentuan hukum tentang pengelolaan aset dan pungutan daerah.
Kepala PD Pasar Dairi menyebut bahwa langkah tersebut dimaksudkan untuk mendisiplinkan penggunaan aset pemerintah agar tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu.
Secara hukum, kebijakan ini memang memiliki dasar yang kuat:
-
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD), Pasal 156 ayat (1), menyebutkan bahwa daerah berhak memungut retribusi atas pelayanan yang diberikan pemerintah daerah.
-
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah, mengatur bahwa penggunaan aset daerah wajib melalui mekanisme sewa, pinjam pakai, atau kerja sama dengan imbalan yang layak.
Namun, secara sosial dan moral, masyarakat menilai kebijakan ini tidak mencerminkan asas keadilan sosial sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, yang menekankan prinsip keadilan dan kesejahteraan rakyat.
“Secara hukum boleh saja, tapi pemerintah seharusnya bijak melihat realita di lapangan. Jangan hanya fokus pada PAD, tapi lupakan kesejahteraan rakyat kecil,” kata salah satu pemerhati kebijakan publik dari Dairi Watch Institute.
Kondisi fisik Pasar Buntu Raja semakin memprihatinkan. Banyak kios yang rusak, dinding mengelupas, dan area pasar dipenuhi rumput liar. Aktivitas ekonomi nyaris tidak ada, membuat masyarakat semakin terbebani dengan pungutan retribusi yang tidak sebanding dengan kondisi lapangan.
“Kalau pasarnya hidup, kami juga bisa hidup. Tapi kalau pasarnya mati begini, untuk makan saja susah, apalagi bayar retribusi,” keluh seorang pedagang sayur yang kini berjualan di rumah.
Masyarakat Buntu Raja berharap pemerintah kabupaten dan PD Pasar Dairi meninjau ulang kebijakan retribusi dan menghidupkan kembali pasar dengan perbaikan infrastruktur serta pemberdayaan pedagang kecil.
Mereka menilai, dengan tarif Rp50 per meter per minggu, pemerintah tetap bisa mendapatkan pemasukan, tanpa memberatkan masyarakat yang berjuang di tengah keterpurukan ekonomi.
“Jangan hanya memungut, tapi pikirkan juga cara agar pasar ini bisa ramai lagi. Kalau pasar hidup, PAD juga naik dengan sendirinya,” ujar seorang tokoh masyarakat setempat.
Kisruh retribusi di Pasar Buntu Raja mencerminkan persoalan klasik antara kebijakan ekonomi daerah dan kebutuhan rakyat kecil. Di satu sisi, pemerintah berupaya menambah pendapatan daerah. Di sisi lain, masyarakat berharap kebijakan dijalankan dengan hati dan keadilan sosial.
Hingga kini, belum ada kesepakatan antara PD Pasar Dairi dan masyarakat. Sementara itu, pasar yang dulu menjadi jantung ekonomi Buntu Raja masih terdiam—menunggu keadilan yang tak kunjung datang.
(Pewarta : Baslan Naibaho)