Dengan Nada Ringan, ia Berbagi Cerita Pribadi:


 Pontianak,Kalbar,MitraBhayangkara.my.id -Puisi tahun ’94 saya gunakan untuk merayu seorang perempuan, yang sekarang jadi istri saya. Itu bukti bahwa puisi punya nilai,” candanya disambut tawa peserta.

Menurutnya, semua penyair hidup di bawah bayang-bayang Chairil Anwar. Selepas era posmodernisme, katanya, segala sesuatu seolah dibolehkan—begitu pula puisi.

Diskusi pun semakin menarik ketika salah satu peserta mengajukan pertanyaan kritis, “Bukankah lomba puisi justru bisa menjadi cara untuk menghancurkan puisi itu sendiri?”


Pertanyaan ini mengundang renungan. Mas Gunawan menjelaskan bahwa dalam makna luas, sebenarnya semua orang bisa menjadi penyair, jika kita memahami puisi sebagai bentuk ekspresi bebas. Namun dalam makna sempit, puisi memang menuntut teknik dan kedalaman tertentu.

Menutup diskusi, Mas Gunawan menyampaikan refleksi penting:

“Buku tanpa aktivitas tambahan juga berat untuk menambah minat baca. Buku perlu dihidupkan dengan aktivitas, diskusi, pertemuan, atau pembacaan bersama.”


Diskusi ini bukan hanya membuka kembali ruang apresiasi terhadap puisi, tetapi juga menjadi pengingat bahwa puisi tak mati—ia hanya menunggu dijemput, dirayakan, dan dihidupkan kembali lewat pertemuan-pertemuan seperti ini.
(Budi Gautama)

Post a Comment

Selamat Datang

To be published, comments must be reviewed by the administrator *

Lebih baru Lebih lama
Post ADS 1
Post ADS 1