MitraBhayangkara.my.id, DAIRI – Proses hukum terkait laporan dugaan penyerobotan tanah dan pengrusakan tanaman yang dialami PRP (inisial), warga Desa Lingga Raja, Kecamatan Pegagan Hilir, Kabupaten Dairi, masih menuai tanda tanya besar. Laporan yang telah disampaikan ke Polres Dairi sejak 9 September 2024 dengan nomor: LP/B/329/IX/2024/SPKT/Polres Dairi/Polda Sumut, hingga kini belum menunjukkan progres signifikan meskipun telah melewati waktu lebih dari sembilan bulan.
Kasus ini berawal pada 29 Agustus 2024, ketika PRP mendapati lahannya yang berada di Dusun I, Suka Bangun, diduga diserobot dan ditanami ulang secara ilegal oleh seseorang berinisial JIL. Padahal, lahan tersebut secara sah tercatat sebagai tanah milik pribadi dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Klaim kepemilikan PRP juga diperkuat dengan surat pengakuan dan dukungan dari lembaga adat Sulang Silima, yang memperkuat aspek legitimasi sosial atas kepemilikan tanah tersebut.
Sayangnya, meskipun pihak kepolisian telah mengeluarkan tiga kali Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP), terakhir tertanggal 19 Mei 2025, hingga saat ini belum ada kejelasan terkait pelimpahan berkas perkara ke Kejaksaan Negeri Dairi. Ketidakjelasan ini menimbulkan kekecewaan dan kekhawatiran dari pihak pelapor, yang menilai proses penegakan hukum berjalan lambat dan tidak transparan.
Menurut PRP, sikap terlapor JIL selama proses mediasi pun menunjukkan indikasi kuat adanya niat jahat (mens rea), sebagaimana diatur dalam Pasal 385 KUHP tentang penggelapan hak atas barang tidak bergerak, yang menyebutkan:
"Barang siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum menjual, menukar, menyewakan, menggadaikan, menjadikan tanggungan, atau menjadikan milik sendiri suatu barang tidak bergerak yang seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain dan yang penguasaannya bukan padanya, dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun."
Selain itu, tindakan penyerobotan tanah juga dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yang menegaskan bahwa hak atas tanah tidak dapat dirampas secara sewenang-wenang tanpa proses hukum yang sah.
Dalam upaya mendapatkan keadilan, pihak PRP melalui kuasa hukumnya, Marlon Simanjorang, S.H., M.H., telah mengajukan permintaan terbaru atas SP2HP kepada penyidik Polres Dairi pada tanggal 17 Juni 2025. Namun, hingga berita ini ditayangkan, belum ada tanggapan resmi dari penyidik maupun Kanit Pemeriksa Satreskrim.
“Kami mendampingi klien kami agar haknya atas tanah yang sah dan dilindungi undang-undang tidak diabaikan. Kami mendorong agar penegakan hukum dilakukan secara cepat, profesional, dan tidak diskriminatif,” tegas Marlon Simanjorang dalam keterangannya.
Sebagai bentuk desakan atas lambannya proses penyidikan, kuasa hukum PRP juga berencana melayangkan pengaduan resmi ke Divisi Propam Polda Sumatera Utara. Tujuannya, agar ada pengawasan internal terhadap kinerja penyidik serta memastikan tidak adanya unsur pelanggaran etik maupun kelalaian dalam penanganan perkara ini.
Kasus ini menjadi perhatian masyarakat lokal, terutama karena menyangkut hak konstitusional warga atas tanah dan keadilan hukum yang setara bagi seluruh elemen masyarakat. PRP berharap aparat penegak hukum dapat bekerja secara profesional, dengan menjunjung tinggi asas transparansi, akuntabilitas, dan keadilan, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, khususnya Pasal 13 tentang tugas dan wewenang Polri dalam menegakkan hukum serta melindungi dan mengayomi masyarakat.
Pewarta: Baslan Naibaho