Dairi, Sumatera Utara, MitraBhayangkara.my.id - Aktivitas penderesan getah pinus secara masif diduga ilegal terjadi di kawasan Hutan Lindung Lae Pondom, Kecamatan Silahi Sabungan, Kabupaten Dairi. Ironisnya, praktik yang berpotensi merusak ekosistem penyangga Danau Toba ini disebut-sebut berlangsung dengan perlindungan oknum, termasuk aparat dan perangkat desa, serta menyeret nama KPH XV Kabanjahe.
Temuan ini terungkap saat tim media melakukan penelusuran lapangan di wilayah kerja KPH XV Kabanjahe. Di lokasi, awak media mendapati sejumlah pohon pinus dalam kondisi disayat secara ekstrem—5 hingga 7 sayatan per batang—dengan mangkuk penampung getah terpasang di bawahnya. Pola ini dinilai berisiko tinggi menyebabkan pohon mengering, rapuh, hingga tumbang.
Salah satu penderes berinisial Sidabariba mengaku kepada awak media bahwa aktivitas tersebut dilakukan dengan izin dan bahkan pendampingan oknum.
“Kami sudah ada izin. Didampingi oknum perangkat Desa Silalahi I berinisial Carles Sidabariba dan ada juga oknum Babinsa berinisial Simbolon,” ujar Sidabariba.
Ia menyebut para penderes hanya sebagai pekerja lapangan, dengan pembagian hasil sebesar 2 persen, dan hasil penjualan getah pinus dibagi kepada KPH Kabanjahe, oknum Babinsa, serta oknum perangkat desa.
Pengakuan ini memunculkan dugaan kuat adanya pembiaran, bahkan keterlibatan oknum, dalam eksploitasi kawasan hutan lindung.
Pakar kehutanan menilai penderesan berlebihan di kawasan hutan lindung sangat berbahaya.
Dr. H. M. Siregar, M.Si, pakar kehutanan dari Sumatera Utara, menegaskan:
“Pohon pinus yang disayat berlebihan akan kehilangan kemampuan fisiologisnya. Dampaknya adalah kekeringan, kematian pohon, hingga tumbang. Di kawasan penyangga Danau Toba, ini sangat berbahaya karena dapat memicu erosi, longsor, dan degradasi ekosistem.”
Kondisi pohon yang mengering juga menimbulkan kekhawatiran warga, khususnya pengguna jalan di sekitar kawasan hutan, karena potensi pohon tumbang yang dapat mengancam keselamatan jiwa.
Aktivitas penderesan di kawasan hutan lindung tanpa izin resmi negara diduga melanggar sejumlah aturan perundang-undangan, antara lain:
UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
- Pasal 50 ayat (3) huruf e: Melarang setiap orang menebang, memungut, atau mengambil hasil hutan tanpa izin.
- Pasal 78 ayat (2): Pelanggaran dapat dipidana penjara hingga 10 tahun dan denda hingga Rp5 miliar.
- UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
Mengatur sanksi tegas terhadap perusakan hutan secara terorganisir, termasuk pihak yang membantu, melindungi, atau menerima aliran dana dari aktivitas ilegal.
UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya
Menegaskan perlindungan kawasan penyangga ekosistem strategis, termasuk hutan lindung.
Menurut Ahli Hukum Lingkungan, Dr. R. P. Hutagalung, SH, MH,:
“Jika benar ada pembagian hasil dan pembiaran oleh oknum aparat atau pejabat kehutanan, maka bukan hanya pelaku lapangan yang bertanggung jawab. Pihak yang memberi perlindungan dapat dijerat sebagai pelaku turut serta (medepleger) atau penyalahgunaan wewenang.”
Masyarakat mendesak Menteri Kehutanan RI serta Aparat Penegak Hukum (APH) untuk segera turun tangan melakukan audit, investigasi menyeluruh, dan penindakan tegas terhadap dugaan praktik ilegal ini.
Selain merusak lingkungan, aktivitas penderesan pinus di hutan lindung telah menimbulkan kegaduhan sosial, merusak kepercayaan publik, dan mengancam masa depan kawasan Danau Toba sebagai destinasi strategis nasional.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak KPH XV Kabanjahe, oknum Babinsa, maupun perangkat Desa Silalahi I belum memberikan klarifikasi resmi. Redaksi membuka ruang hak jawab sesuai ketentuan UU Pers No. 40 Tahun 1999.
(Pewarta : Baslan Naibaho)

