Pakpak Bharat, MitraBhayangkara.my.id – Tim investigasi Mitra Bhayangkara berhasil membongkar praktik perambahan hutan lindung di kawasan Jalan Lintas Pakpak Bharat–Aceh. Temuan lapangan menunjukkan adanya tumpukan kayu anak lebih dari 1 ton di dasar hutan yang diduga diproduksi oleh para pembalak liar. Lebih jauh, informasi yang dihimpun dari warga dan sejumlah pemerhati lingkungan mengungkap adanya dugaan jual beli lahan hutan lindung yang dilakukan secara terselubung.
Kayu-kayu yang ditemukan tidak berbentuk gelondongan besar, melainkan ukuran kecil (kayu anak), diduga untuk mengelabui patroli aparat. Beberapa sumber menyebut para pelaku sengaja memotong pohon dalam ukuran kecil agar mudah diangkut dan tidak mencolok.
“Cara itu umum dipakai pembalak untuk menghindari deteksi drone dan pengawasan darat,” ujar salah satu aktivis lingkungan Pakpak Bharat yang enggan disebutkan namanya.
Selain penebangan, wartawan juga mendapatkan keterangan dari penduduk sekitar bahwa kawasan hutan lindung tersebut diduga telah ‘dijual’ kepada pihak tertentu untuk dijadikan kebun pribadi. Penjualan dilakukan secara gelap tanpa dokumen resmi, memanfaatkan lemahnya pengawasan.
“Sudah lama ada yang coba-coba menjual lahan hutan itu. Alasannya untuk perluasan kebun. Padahal itu jelas kawasan lindung,” ungkap seorang warga Desa Kuta Tinggi.
Tim wartawan langsung menghubungi pihak KPH XIV Dairi–Pakpak Bharat. Pihak KPH menyatakan akan menurunkan tim untuk menelusuri lokasi temuan dan menindak para pelaku.
“Kami akan cek lokasi dan koordinasi dengan kepolisian. Perambahan di kawasan lindung tidak bisa ditoleransi,” ujar salah seorang pejabat KPH XIV saat dikonfirmasi.
Perambahan hutan di wilayah ini berdampak langsung pada lingkungan. Menurut penuturan warga, debit air dari sumber mata air setempat terus menurun sejak dua tahun terakhir.
“Hutan itu dekat sumber air yang dipakai warga. Kalau ditebang, ya habis kita nanti,” kata seorang warga kepada wartawan, Senin (24/11/2025).
Pemerhati lingkungan juga memperingatkan bahwa kerusakan hutan lindung di Pakpak Bharat dapat memicu erosi, banjir bandang, dan kehilangan biodiversitas, mengingat kawasan tersebut merupakan habitat satwa endemik dataran tinggi.
Dari penelusuran lapangan, jejak aktivitas perambahan tampak sudah berlangsung lama:
-
terdapat bekas jalan setapak untuk mengangkut kayu,
-
adanya pondok darurat,
-
serta lubang tebangan lama yang menunjukkan pola tebang bertahap.
Sumber internal menyebut ada kemungkinan keterlibatan sindikat lokal yang bekerja sistematis.
Mengacu UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan:
1. Penebangan Liar
-
Pidana penjara: 1–5 tahun
-
Denda: Rp 500 juta – Rp 2,5 miliar
2. Perkebunan Ilegal dalam Kawasan Hutan
-
Pidana penjara: 3–10 tahun
-
Denda: minimal Rp 1,5 miliar
Selain itu, aparat juga dapat menjerat pelaku dengan Pasal 55 dan 56 KUHP bila terbukti ada pihak yang turut membantu atau memfasilitasi perambahan.
Aktivis lingkungan meminta aparat tidak hanya menangkap pekerja di lapangan, tetapi juga mengusut aktor intelektual yang mengendalikan perusakan hutan lindung tersebut.
“Penebang hanyalah pekerja. Selama cukongnya tidak disentuh, perambahan tidak akan pernah berhenti,” ujar seorang sumber dari LSM kehutanan Sumatera Utara.
Kini publik menunggu langkah cepat dan tegas dari KPH XIV, kepolisian, dan pemerintah daerah untuk menghentikan perusakan hutan yang menjadi penopang sumber air dan ekosistem Pakpak Bharat.
Pewarta: Baslan Naibaho

