Ketapang,Kalbar,MitraBhayangkara.my.id - Alih-alih mereda, situasi di Km 26 Ketapang pasca unjuk rasa dari kelompok PETIR (Persatuan Tambang Independen Rakyat Ketapang) justru makin memanas. Aktivitas pertambangan emas tanpa izin (PETI) meningkat drastis, dengan unit alat berat ekskavator Sumitomo—kode SGM 27 dan SGM 18—kembali menggali tanpa henti, siang dan malam.
Pantauan langsung tim LKRINews mengonfirmasi bahwa kegiatan itu berlangsung di luar wilayah konsesi resmi, tepatnya di zona yang tidak memiliki izin lingkungan maupun izin usaha pertambangan (IUP/IUPK).
“Demo seakan jadi sinyal hijau. Sekarang alat berat malah makin banyak, bahkan beroperasi di malam hari. Pemerintah dan aparat hanya diam,” kata seorang tokoh masyarakat yang minta namanya dirahasiakan.
Melanggar Hukum Secara Terang-Terangan Kegiatan PETI di Km 26 bukan hanya melawan norma tata ruang dan lingkungan hidup, tapi juga melanggar hukum pidana yang telah diatur secara eksplisit dalam perundang-undangan Indonesia, antara lain:
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 (UU Minerba):
Pasal 158: Setiap orang yang melakukan usaha pertambangan tanpa izin (IUP/IUPK/PKP2B) dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah).
Pasal 161: Setiap orang yang menampung, mengolah, memanfaatkan, atau memperdagangkan hasil tambang ilegal juga dapat dipidana.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH):
Pasal 36 Ayat (1): Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki AMDAL atau UKL-UPL harus memiliki izin lingkungan.
Pasal 109: Melaksanakan kegiatan tanpa izin lingkungan diancam pidana paling lama 3 (tiga) tahun dan denda hingga Rp3.000.000.000 (tiga miliar rupiah).
KUHP Pasal 406 (Perusakan):
Barang siapa dengan sengaja menghancurkan atau merusak barang milik orang lain (termasuk lingkungan dan aset negara) dapat dihukum pidana penjara hingga 2 tahun 8 bulan.
Negara Harus Turun: Bukan Lagi Sekadar Pelanggaran Administratif
Bertambahnya unit ekskavator dan aktivitas PETI justru menjadi indikasi adanya pembiaran struktural. Masyarakat menduga ada keterlibatan atau setidaknya kelalaian dari pihak:
Aparat Penegak Hukum (APH)
Dinas Lingkungan Hidup
Dinas ESDM,Pemerintah Kabupaten Ketapang
“Jika tidak ada pembiaran, tidak mungkin alat berat bisa bebas keluar-masuk dan beroperasi nonstop,” tegas pengamat pertambangan dari Pontianak Institute.
Tindakan Ditunggu: Bukan Diam yang Dilembagakan
Jika penindakan tidak segera dilakukan, akan timbul persepsi bahwa hukum hanya bekerja untuk rakyat kecil. Sementara pengusaha PETI dengan modal besar, beking kuat, dan alat berat justru dipelihara sistem.
Pertanyaan rakyat: Apakah negara sedang kalah oleh ekskavator ?
Atau negara justru ikut bermain di balik tambang ilegal ini?
Lubuk Toman dan Km 26: Dua Wajah Gagalnya Tata Kelola Tambang
Setelah kasus PETI di Lubuk Toman mencuat, kini Km 26 menyusul sebagai simbol kelumpuhan negara dalam menegakkan hukum sumber daya alam. Jika pusat tidak segera turun—melalui Gakkum ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup, dan Komisi VII DPR RI—maka krisis legitimasi hukum akan tak terhindarkan.
LKRINews Investigasi. Kami Menulis Agar Republik Tidak Dikuasai Oligarki Tambang
(Budi Gautama)