DAIRI, MitraBhayangkara.my.id – Dugaan kasus pemalsuan tanda tangan kembali mencuat di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. Seorang oknum Sekretaris Desa (Sekdes) Gundaling, Tahan Marulitua Simbolon, dilaporkan ke Polsek Tigalingga atas dugaan pemalsuan tanda tangan sekretaris dan kepala desa dalam pengurusan dana kelompok tani.
Laporan tersebut resmi disampaikan oleh Transes Sitanggang, yang merasa dirugikan karena namanya dicantumkan sebagai sekretaris kelompok tani “Marsada Roha” tanpa sepengetahuan dan persetujuan dirinya. Padahal dalam berita acara pengukuhan kelompok tani tertanggal 9 Januari 2025, Transes Sitanggang diangkat sebagai Bendahara, bukan sekretaris.
Laporan Resmi ke Polisi
Berdasarkan Surat Tanda Penerimaan Laporan (STPL) Nomor: STPL/14/IV/2025/SPKT/POLSEK TIGALINGGA, Transes Sitanggang melaporkan Tahan Marulitua Simbolon bersama dua orang lainnya atas dugaan tindak pidana pemalsuan tanda tangan dan perubahan struktur organisasi kelompok tanpa musyawarah. Peristiwa ini disebut terjadi sejak Desember 2023 hingga awal 2025.
Transes menyebut, selain mencantumkan dirinya sebagai sekretaris, tanda tangan atas namanya juga diduga digunakan untuk mencairkan dana kelompok tani sebanyak tiga kali tanpa izin.
"Saya khawatir jika di kemudian hari kelompok tani bermasalah, saya ikut bertanggung jawab karena seolah-olah saya ikut menandatangani dokumen tersebut. Padahal saya tidak tahu-menahu," ujarnya kepada wartawan.
Pengakuan dan Ancaman Hukum
Oknum Sekdes, Tahan Marulitua Simbolon, dikonfirmasi wartawan menyatakan bahwa ia telah meminta maaf kepada kepala desa dan Transes Sitanggang. Bahkan ia siap bertanggung jawab apabila proses hukum tetap berjalan.
"Saya sudah minta maaf. Kalau tidak mau berdamai, saya siap masuk penjara. Saya juga tahu semua rahasia kinerja kepala desa," ungkapnya.
Kasus ini juga melibatkan dugaan pengambilan dana kelompok tani dari BRI tanpa prosedur yang sah, termasuk kegiatan penanaman pohon durian dan coklat seluas 230 hektare dengan jumlah sekitar 5.700 pohon.
Kepala Desa Tidak Mengetahui
Kepala Desa Parasian, Parisma Manik, yang disebut tanda tangannya juga dipalsukan, mengaku tidak mengetahui adanya dokumen tersebut dan merasa kecolongan.
“Saya tidak pernah menandatangani dokumen itu. Ini perlu ditindaklanjuti secara hukum agar menjadi pelajaran,” tegasnya.
Referensi Hukum dan Edukasi Publik
Kasus ini menunjukkan pentingnya keabsahan dokumen dan tata kelola administrasi yang akuntabel. Dalam konteks hukum, pemalsuan tanda tangan tergolong tindak pidana serius.
Pasal 263 ayat (1) KUHP menyatakan:
“Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak atau perikatan … dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat itu seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu … diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.”
Selain itu, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, ditegaskan bahwa:
> “Setiap dokumen persyaratan administrasi harus valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Pemalsuan dokumen merupakan pelanggaran disiplin berat yang dapat berujung pada pemecatan.”
Kepada wartawan, Transes Sitanggang berharap agar pihak Polsek Tigalingga dan Polres Dairi segera memproses laporan ini secara profesional dan transparan demi keadilan serta edukasi kepada perangkat desa lain agar lebih berhati-hati dalam menjalankan tugas administratif.
Pemalsuan tanda tangan tidak hanya melanggar hukum pidana, tetapi juga merusak tata kelola pemerintahan desa dan menimbulkan ketidakpercayaan publik. Masyarakat dan perangkat desa diharapkan memahami pentingnya integritas dalam pengelolaan dana desa maupun kelompok tani, demi keberlanjutan pembangunan pedesaan yang akuntabel.
(Baslan Naibaho)