Mitra Bhayangkara, Jakarta - Kasus yang melibatkan Pendeta Gilbert Lumoindong memang telah menjadi sorotan publik belakangan ini. Video khotbahnya yang viral di media sosial telah menimbulkan polemik di tengah masyarakat terkait batasan kebebasan berbicara dan beragama di Indonesia.
Dalam video tersebut, Pendeta Gilbert Lumoindong membandingkan shalat dan zakat dengan ibadah umat Kristen menggunakan logika yang keliru, yang dikenal sebagai "false equivalence" atau "kesetaraan palsu". Namun, perlu dicatat bahwa pembayaran zakat dalam Islam dan ibadah umat Kristen adalah dua hal yang berbeda dan tidak dapat dibandingkan secara langsung.
Pendeta Gilbert Lumoindong menghubungkan jumlah pembayaran zakat dalam Islam dengan frekuensi ibadah yang dilakukan. Namun, ini adalah suatu kesetaraan palsu karena pembayaran zakat adalah kewajiban finansial yang berbeda dengan ibadah, yang merupakan bentuk penghambaan kepada Tuhan. Tidak ada hubungan langsung antara jumlah zakat yang dibayarkan dan jumlah ibadah yang dilakukan.
Selain itu, Pendeta Gilbert Lumoindong juga menyimpulkan bahwa umat Kristen hanya perlu pergi ke gereja sekali seminggu karena mereka telah "dibersihkan" oleh Yesus sang juru selamat. Namun, ini adalah contoh logika yang melompat-lompat dan tidak memiliki korelasi langsung antara pembayaran persepuluh dan frekuensi ibadah ke gereja. Ibadah ke gereja atau masjid dalam agama Kristen atau Islam adalah ekspresi dari keyakinan spiritual dan hubungan pribadi dengan Tuhan. Tidak ada penggantian atau substitusi yang bisa dilakukan dengan pembayaran zakat atau persepuluh.
Pernyataan Pendeta Gilbert Lumoindong tersebut menunjukkan kurangnya pemahaman tentang konsep ibadah dalam agama Kristen dan Islam. Ibadah adalah tindakan pribadi dan langsung antara individu dan Tuhan mereka. Oleh karena itu, logika yang digunakan oleh Pendeta Gilbert Lumoindong dalam khotbahnya adalah contoh dari pemahaman yang dangkal atau manipulatif terhadap ajaran agama yang dapat menghasilkan kesimpulan yang tidak masuk akal.
Penting bagi kita sebagai masyarakat untuk memahami dan menghormati perbedaan agama dan keyakinan. Kebebasan berbicara dan beragama adalah hak yang dilindungi oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Namun, kebebasan tersebut juga harus diiringi dengan tanggung jawab dan penghormatan terhadap nilai-nilai keagamaan dan keberagaman yang ada di Indonesia.
Sumber: KompasTV
(MB)