Kepulauan Sangihe, MitraBhayangkara.my.id — Kejaksaan Negeri Kepulauan Sangihe (Kejari Sangihe) menetapkan AAL (47), mantan Pelaksana Harian Kapitalaung Kampung Beha, Kecamatan Tabukan Utara, sebagai tersangka dalam kasus dugaan penyalahgunaan Dana Desa (Dandes). Indikasi penyimpangan ini berasal dari hasil audit internal dan pemeriksaan penyidik, yang menemukan kerugian negara mencapai sekitar Rp 900 juta akibat proyek fiktif dan pengadaan bermasalah.
Penetapan tersangka dibarengi dengan penahanan AAL pada Selasa (9/12/2025), dan langsung dititipkan di Lapas Kelas IIB Tahuna. Dalam konferensi pers, pejabat Kejari menyatakan bahwa penyidikan telah menemukan bukti cukup untuk menjerat AAL dengan pasal kualifikasi tindak pidana korupsi — yakni Undang‑Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (sebagaimana diubah oleh Undang‑Undang Nomor 20 Tahun 2001 ) — tepatnya Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18, atau subsider Pasal 3 UU Tipikor, serta Pasal 55 KUHP. Ancaman hukuman sangat berat: penjara antara 4 sampai 20 tahun serta denda besar.
Menurut audit Inspektorat yang dijadikan dasar penyidikan, ada sejumlah “item pengadaan bermasalah” dan indikasi proyek fiktif — artinya sejumlah kegiatan dan penggunaan dana Desa Beha tidak nyata keberadaannya. Hal ini memunculkan pertanyaan besar: bagaimana pengawasan keuangan desa dan akuntabilitas pengelolaan Dana Desa dalam praktik, terutama di wilayah pedesaan terpencil seperti Sangihe.
Hukum di Indonesia mengatur bahwa perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan cara korupsi terhadap keuangan negara — termasuk Dana Desa — dapat dijerat dengan pasal paling berat di UU Tipikor. Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menetapkan bahwa pelaku bisa dipidana penjara seumur hidup atau penjara 4–20 tahun serta denda minimal Rp 200 juta sampai Rp 1 miliar.
Ahli hukum menekankan bahwa Desa sebagai unit pemerintahan terkecil tetap termasuk dalam “keuangan negara/daerah.” Oleh karena itu, penyalahgunaan Dana Desa tidak bisa dianggap ringan — melainkan sebagai kejahatan korupsi serius yang merongrong kepercayaan publik terhadap pemerintahan desa.
Kasus penetapan tersangka terhadap AAL adalah sinyal kuat bahwa aparat penegak hukum bersedia menangani dugaan korupsi bahkan di tingkat desa. Tapi hal ini juga mengungkap celah serius dalam mekanisme pengawasan keuangan desa — terutama di daerah pelosok — dimana administrasi mungkin lemah, dan akuntabilitas sulit ditegakkan.
Para ahli dan pemerhati berharap agar kasus ini mendorong perbaikan sistem pengelolaan Dana Desa: audit berkala, transparansi pengadaan barang dan jasa, serta partisipasi masyarakat sebagai “saksi sosial” agar penggunaan dana publik bisa diawasi dari awal sampai akhir.
(Pewarta : Nehemiah)

