Dialog Publik WALHI Kalsel: Menimbang Taman Nasional Meratus, Solusi Konservasi atau Ancaman bagi Masyarakat Adat


 Banjarbaru,Kalsel,MitraBhayangkara.my.id  — Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Selatan menggelar Dialog Publik bertajuk “Taman Nasional Meratus: Solusi Konservasi atau Konflik Agraria dan Perampasan Hak Masyarakat Adat?” di Coffee Kala, Jalan RP Soeparto, Kelurahan Mentaos, Banjarbaru Utara, Kota Banjarbaru. 

Acara berlangsung dari pukul 08.30 hingga 13.00 WITA dengan antusiasme tinggi dari berbagai kalangan masyarakat, akademisi, dan pemerhati lingkungan.

Kegiatan ini menghadirkan narasumber dari beragam latar belakang, yakni Raden Rafiq S.F.W., Direktur WALHI Kalsel 2024–2028; Netty Herawati, Akademisi Universitas Lambung Mangkurat (ULM); Anang Suriani, perwakilan Masyarakat Adat Dayak Pitap; serta perwakilan dari Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Selatan.

Dalam dialog ini, para narasumber mendiskusikan dinamika penetapan kawasan Taman Nasional Meratus yang selama ini menjadi perhatian banyak pihak meratus memang perlu dilindungi. 

Namun penetapan Taman Nasional bukan tanpa risiko, terutama bagi hak dan ruang hidup masyarakat adat yang telah lama menjaga wilayah ini.

Dialog ini mengajak publik mencari jawaban: apakah Taman Nasional Meratus menjadi solusi konservasi, atau justru memicu konflik agraria atas nama perlindungan alam. 

WALHI Kalsel menegaskan pentingnya memastikan kebijakan konservasi tidak mengorbankan hak-hak masyarakat adat yang telah turun-temurun hidup berdampingan dengan alam Meratus.

Menurut Raden Rafiq, langkah pelestarian harus ditempatkan dalam kerangka keadilan ekologis. 

“Kita ingin memastikan konservasi tidak hanya melindungi hutan, tetapi juga manusia yang menjadi bagian dari ekosistem itu sendiri,” ujarnya.

Sementara Netty Herawati menekankan pentingnya riset dan pendekatan sosial budaya dalam setiap kebijakan lingkungan.

 “Konservasi harus melihat manusia sebagai subjek, bukan objek kebijakan,” jelasnya.

Perwakilan masyarakat adat Anang Suriani turut menyuarakan keresahan komunitas adat. 

Ia menilai bahwa masyarakat adat selama ini telah menjaga Meratus dengan kearifan lokal, namun justru sering kali tidak diakui dalam kebijakan negara.

WALHI Kalimantan Selatan berharap dialog ini menjadi ruang refleksi bersama agar kebijakan konservasi dapat dijalankan tanpa menyingkirkan masyarakat adat dari tanah leluhurnya.

Acara yang dibuka untuk umum ini juga menegaskan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat adat dalam menjaga keberlanjutan ekosistem Pegunungan Meratus, sebagai sumber kehidupan, identitas budaya, sekaligus penyangga utama lingkungan Kalimantan Selatan.(Mubarak& Wawan)

Post a Comment

Selamat Datang

To be published, comments must be reviewed by the administrator *

Lebih baru Lebih lama
Post ADS 1