Dairi, MitraBhayangkara.my.id – Sikap tertutup Pengadilan Negeri (PN) Sidikalang Kelas II menuai sorotan tajam publik dan insan pers. Hingga lebih dari 7 hari kerja, surat resmi permohonan klarifikasi dan informasi yang dilayangkan oleh K.A Perwakilan Sumut Spirit Revolusi kepada Ketua PN Sidikalang, tertanggal 15 Desember 2025, tak kunjung mendapat jawaban.
Ironisnya, surat tersebut secara administratif telah diterima resmi oleh bagian umum PN Sidikalang atas nama Monika, namun hingga kini tak ada penjelasan, klarifikasi, maupun tanggapan tertulis dari pihak pengadilan.
Surat tersebut berkaitan langsung dengan pelaksanaan eksekusi konstatering oleh juru sita PN Sidikalang yang dilakukan pada 13 November 2025 di lokasi lahan sengketa di wilayah Dusun Lae Hole, Kabupaten Dairi.
Saat itu, awak media menemukan sejumlah kejanggalan di lapangan:
- Kehadiran juru sita pengadilan bersama kepala dusun setempat
- Dua orang lain yang tidak dikenal publik
- Pihak tergugat menyebut dua orang tersebut merupakan bagian dari penggugat
Namun, hingga kini status, kewenangan, dan peran pihak-pihak tersebut tidak pernah dijelaskan secara resmi oleh PN Sidikalang.
Ketertutupan ini memicu dugaan kuat adanya informasi yang sengaja disembunyikan, terutama terkait legalitas dan prosedur konstatering yang seharusnya terbuka dan dapat diawasi publik.
Sikap diam PN Sidikalang dinilai bertolak belakang dengan asas lembaga peradilan yang menjunjung tinggi prinsip “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Tidak hanya itu, tindakan ini juga dinilai mencederai:
- Hak publik atas informasi
- Fungsi kontrol sosial pers
- Kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan
Padahal, media secara resmi telah menempuh jalur yang santun, administratif, dan sesuai hukum, bukan opini liar atau pemberitaan sepihak.
Pakar Hukum Tata Negara Dr. R. Manullang, S.H., M.H. menegaskan bahwa sikap bungkam lembaga peradilan terhadap permohonan informasi resmi merupakan preseden buruk.
“Pengadilan adalah badan publik. Berdasarkan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, pengadilan wajib memberikan informasi, kecuali yang secara tegas dikecualikan. Jika dikecualikan, harus ada penjelasan hukum, bukan diam,” tegasnya.
Hal senada disampaikan ahli hukum pidana dan peradilan Prof. Dr. L. Sitorus, S.H., M.H.:
“Konstatering bukan proses rahasia. Jika pengadilan menutup informasi tanpa dasar, maka publik berhak curiga. Transparansi adalah benteng terakhir menjaga marwah peradilan.”
Sikap PN Sidikalang juga dinilai bertentangan dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, khususnya:
- Pasal 4 ayat (3): Menjamin kemerdekaan pers untuk mencari dan memperoleh informasi
- Pasal 18 ayat (1): Mengancam pidana bagi pihak yang menghambat kerja pers
Ironisnya, hambatan ini justru datang dari lembaga peradilan, yang seharusnya menjadi contoh tertinggi penegakan hukum dan transparansi.
Sikap bungkam ini memunculkan pertanyaan serius:
- Apakah proses konstatering sengaja dirahasiakan dari publik?
- Apakah ada fakta hukum yang ditutup-tutupi?
- Apakah pembiaran terhadap surat resmi media sudah menjadi pola di PN Sidikalang?
Publik kini menanti jawaban, bukan keheningan.
Media dan masyarakat sipil mendesak PN Sidikalang untuk:
- Memberikan jawaban resmi dan tertulis
- Menjelaskan apakah informasi yang diminta termasuk informasi dikecualikan
- Jika ya, sebutkan dasar hukum pengecualian tersebut
Jika tidak, maka tidak ada alasan logis bagi lembaga peradilan untuk risih, alergi, atau menghindar dari keterbukaan.
Karena dalam negara hukum, pengadilan yang bersih tidak takut pada sorotan, dan keadilan yang jujur tidak pernah risih pada transparansi.
(Pewarta : Baslan Naibaho)

