Sulawesi Utara, MitraBhayangkara.my.id – Insiden pelemparan terhadap Gereja GMIM Silo Watuliney, Kecamatan Belang, Kabupaten Minahasa Tenggara, menjadi puncak dari bentrokan dua kelompok warga yang terjadi Minggu (30/11/2025) dini hari sekitar pukul 01.35 WITA. Peristiwa ini memicu kekhawatiran publik lantaran melibatkan aksi anarkis dan penggunaan senjata tajam. (Kamis, 4 Desember 2025)
Informasi awal dari salah satu warga Watuliney yang dihubungi melalui telepon seluler menyebutkan bahwa bentrok terjadi secara tiba-tiba di jalan utama desa dan melibatkan pemuda dari dua kelompok berbeda. Sejumlah media lokal menyebutkan bahwa gesekan antar kelompok itu dipicu persoalan lama yang berulang, namun aparat belum mengonfirmasi motif pastinya.
Kabid Humas Polda Sulawesi Utara Kombes Pol. Alamsyah Parulian Hasibuan menegaskan bahwa Polda Sulut langsung mengerahkan personel gabungan untuk mencegah eskalasi.
“Personil Disamapta, Satbrimob, dan Ditreskrimum diterjunkan ke lokasi untuk membantu Polres Minahasa Tenggara dalam meredam situasi,” ujarnya.
Langkah cepat itu sesuai dengan Perkap No. 2 Tahun 2022 tentang Pengendalian Massa, yang mewajibkan kepolisian melakukan penanganan terukur untuk mencegah bentrokan meluas.
Aparat berhasil mengamankan sejumlah individu yang diduga terlibat dalam peristiwa tersebut.
Polda Sulut menetapkan 10 orang sebagai tersangka.
Rinciannya:
-
3 orang pelaku pelemparan Gereja GMIM Silo
-
2 orang kedapatan membawa senjata tajam
-
5 lainnya memproduksi panah wayer (senjata rakitan)
Dirreskrimum Polda Sulut AKBP Suryadi menjelaskan bahwa tersangka pelemparan dikenakan:
-
Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP
“Kekerasan terhadap orang atau barang secara bersama-sama”
Ancaman hukuman: maksimal 5 tahun penjara
Subsidair:
-
Pasal 406 KUHP
“Perusakan terhadap barang atau bangunan”
Sementara pelaku pembawa senjata tajam dapat dijerat UU Darurat No. 12 Tahun 1951.
Dalam konferensi pers, Plt. Karoops Polda Sulut Kombes Pol. Ferry Raimond Ukoli menyebut fakta baru:
Dua tersangka pembawa senjata tajam bukan warga Minahasa Tenggara.
Hal ini memunculkan pertanyaan publik mengenai kemungkinan adanya aktor luar yang memperkeruh situasi. Sejumlah pengamat konflik sosial di Sulawesi Utara yang diwawancarai media nasional menyebut potensi masuknya pihak ketiga sebagai faktor pemicu eskalasi.
“Konflik horizontal seringkali diperparah oleh kehadiran massa dari luar wilayah. Bila benar ada pihak eksternal, aparat perlu memastikan jaringan dan motifnya,” ujar salah satu peneliti keamanan daerah Sulut.
Menurut Kombes Ukoli, kondisi desa saat ini telah kembali normal.
“Masyarakat sudah beraktivitas seperti biasa. Kami mengimbau warga agar tidak terprovokasi informasi yang tidak benar,” tegasnya.
Aparat juga meningkatkan patroli sebagai langkah pencegahan.
Berdasarkan rangkuman informasi lapangan dan beberapa sumber pemberitaan:
-
Bentrokan bukan spontan, melainkan dipicu gesekan antar kelompok yang telah terjadi sebelumnya.
-
Pelemparan gereja diduga sebagai aksi lanjutan, bukan motif intoleransi langsung, namun tetap dianggap tindakan pidana berat.
-
Kehadiran pelaku dari luar daerah menjadi indikator bahwa konflik ini berpotensi ditunggangi pihak tertentu.
-
Penegakan hukum sedang berjalan dan polisi menegaskan tidak ada toleransi terhadap aksi premanisme atau perusakan tempat ibadah.


