Samosir, Sumatera Utara, MitraBhayangkara.my.id - Penutupan Poliklinik Mata RSUD Hadrianus Sinaga Pangururan sejak Juli 2025 terus memicu pertanyaan publik. Layanan kesehatan yang baru diresmikan oleh Bupati Samosir Vandiko Timotius Gultom pada Februari 2025 itu kini mandek total akibat tidak adanya dokter spesialis mata dan beban operasional yang tidak tertutupi. Penutupan ini menimbulkan dugaan kuat adanya lemahnya manajemen perencanaan kesehatan serta ketidakmampuan Pemkab Samosir memastikan keberlanjutan layanan publik, terutama yang menyangkut kebutuhan vital masyarakat.
Bupati Samosir Vandiko Gultom mengakui bahwa hingga kini Pemkab masih kesulitan mencari dokter mata yang bersedia dikontrak. Ia bahkan meminta bantuan masyarakat untuk mencarikan dokter spesialis mata.
“Saya sampai sekarang berusaha cari dokter mata yang mau dikontrak… Bantu Pemkab solusi cari dokter mata,” ujar Vandiko melalui WhatsApp, Selasa (18/11/2025).
Pernyataan ini justru mengundang kritik—karena menunjukkan bahwa sejak awal, pengoperasian Poliklinik Mata tidak didukung perencanaan jangka panjang terkait SDM spesialis.
Di sisi lain, Kepala Tata Usaha RSUD Hadrianus Sinaga, Berman Situmorang, mengungkap alasan lain. Menurutnya, kerja sama dengan pihak SMEC dihentikan karena alasan finansial.
“PKS dan SMEC disetop. Karena perjanjian kerja sama, nggak sanggup pendapatan ke operasionalnya,” jelas Berman.
Penyebab defisit operasional itu diduga muncul karena pembatasan klaim BPJS, dimana RS hanya bisa mengklaim 10 pasien operasi mata per bulan, sementara biaya operasional baru tertutupi jika ada minimal 20 pasien operasi.
Kondisi ini memperlihatkan ketergantungan penuh pada BPJS sebagai sumber pendapatan operasional, tanpa skema pendanaan alternatif dari Pemkab.
Pakar Kebijakan Kesehatan Universitas Indonesia, Dr. Aditya Pramana, M.H.Kes, menilai bahwa penutupan mendadak ini mencerminkan lemahnya tata kelola pelayanan spesialistik di daerah.
“Jika sebuah layanan hanya bertahan lima bulan setelah peresmian, itu artinya terjadi miskalkulasi serius. Perencanaan tenaga medis spesialis tidak boleh bersifat reaktif. Harus ada skema rekrutmen, insentif, dan keberlanjutan sejak awal,” ungkapnya.
Ia juga menyoroti ketergantungan pada BPJS.
“Pembatasan kuota klaim BPJS sebenarnya bisa diantisipasi dengan skema subsidi daerah atau insentif operasional, agar layanan tetap berjalan. Ini konsekuensi dari tidak adanya perencanaan pembiayaan yang matang,” tegasnya.
Sementara itu, analis kebijakan publik dan kesehatan regional Sumatera Utara, Dr. Haposan Marbun, menilai bahwa minimnya dokter mata bukan alasan baru.
“Kekurangan dokter spesialis sudah diketahui sejak bertahun-tahun. Pemkab seharusnya menyiapkan kontrak jangka panjang, insentif khusus, atau kerja sama dengan fakultas kedokteran sejak sebelum peresmian,” ujarnya.
Penutupan layanan kesehatan strategis ini berpotensi melanggar sejumlah peraturan perundang-undangan yang mengatur kewajiban pemerintah daerah dalam menyediakan layanan kesehatan yang memadai.
1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Pasal 19 ayat (2) menegaskan bahwa pemerintah daerah wajib menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan yang diperlukan oleh masyarakat. Penutupan layanan mata tanpa solusi cepat dapat dikategorikan sebagai kelalaian memenuhi kewajiban tersebut.
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Bidang kesehatan merupakan urusan wajib pelayanan dasar yang harus dipenuhi oleh pemerintah daerah. Dalam pasal 12, disebutkan bahwa Pemda berkewajiban menjamin tersedianya layanan kesehatan dasar dan rujukan.
3. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2019
Permenkes ini mengatur standar pelayanan rumah sakit, termasuk kewajiban RSUD menyediakan layanan spesialistik dasar dan rujukan sesuai kebutuhan masyarakat daerah.
4. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
Pasal 29 menyebutkan bahwa rumah sakit wajib memberikan pelayanan gawat darurat dan pelayanan kesehatan lainnya secara berkesinambungan sesuai dengan kemampuan. Penghentian layanan tanpa solusi permanen dapat masuk kategori pelanggaran pelayanan berkesinambungan.
Penutupan Poliklinik Mata memaksa masyarakat Samosir melakukan perjalanan ke Medan, Balige, atau Siantar untuk mendapatkan layanan operasi mata dan konsultasi spesialis. Kondisi ini menambah biaya transportasi, waktu tunggu, dan risiko kesehatan bagi warga.
Pemerhati layanan publik Samosir, Togar Simbolon, mengkritik keras kondisi ini:
“Bagaimana mungkin layanan yang dibanggakan saat peresmian hanya bertahan lima bulan? Ini merugikan masyarakat kecil yang sangat bergantung pada layanan di Samosir.”
Para pakar menilai perlu adanya audit manajemen layanan dan evaluasi menyeluruh terhadap perencanaan kesehatan Pemkab Samosir.
Beberapa pertanyaan yang dinilai penting untuk dijawab:
Mengapa Poliklinik Mata diresmikan sebelum ketersediaan dokter spesialis dipastikan?
Apakah studi kelayakan operasional dilakukan sebelum memulai kerja sama dengan SMEC?
Mengapa tidak ada alokasi subsidi daerah untuk menutup selisih operasional?
Apa langkah jangka panjang Pemkab untuk memastikan keberlanjutan layanan spesialis?
Hingga kini, Pemkab Samosir masih bergantung pada pencarian dokter mata dari luar daerah. Namun tanpa perencanaan yang komprehensif, publik menilai Poliklinik Mata berpotensi kembali mangkrak meski layanan dibuka kembali.
Padahal, saat peresmian Februari 2025 lalu, Bupati Vandiko menjanjikan peningkatan layanan kesehatan secara bertahap dan berkelanjutan.
Kini janji tersebut dipertanyakan.
(Pewarta: Kirman Sidabutar)


