SAMOSIR, MitraBhayangkara.my.id – Empat puluh hari sudah AR Siregar (24), warga binaan Lapas Kelas III Pangururan, Kabupaten Samosir, meninggal dunia pada 6 Oktober 2025. Namun misteri penyebab kematiannya masih belum menemukan titik terang. Keluarganya terus berharap keadilan ditegakkan, sementara proses penyidikan berjalan lambat tanpa kepastian siapa pelaku pemukulan yang menyebabkan nyawanya melayang.
AR Siregar merupakan warga Desa Limokito, Kecamatan Bonjol, Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat. Ia sedang menjalani pidana penjara selama 2 tahun 6 bulan atas perkara pencurian, sesuai putusan Nomor 53/Pid.B/2025/PN Blg. Putusan pengadilan itu membuatnya dipindahkan ke Lapas Pangururan untuk menjalani masa pembinaan.
Peristiwa tragis itu bermula pada Minggu malam, 5 Oktober 2025, sekitar pukul 20.30 WIB. Kepala Keamanan Lapas, Mitra Tarigan, menjelaskan bahwa Army sempat terlibat keributan di kamar 3 dengan beberapa penghuni. Untuk menghindari konflik berlanjut, petugas memindahkannya ke kamar 2. Saat itu, kondisinya dilaporkan masih sehat.
Senin pagi, 6 Oktober 2025, setelah apel dan kegiatan senam, Army kembali ke kamar 2 untuk mengambil pakaian. Begitu ia keluar dari kamar, peristiwa pemukulan diduga terjadi. Kepala Lapas, Jeremi, membenarkan adanya aksi kekerasan tersebut.
“Terjadi selisih paham sehingga terjadi pemukulan terhadap Armi. Diduga pelakunya lebih dari satu orang. Ini masih dalam investigasi,” kata Jeremi.
![]() |
| Jeremi Kepala Lapas kelas III Pangururan, kabupaten Samosir. |
Menurut lapas, Army sempat pingsan dan dibawa ke klinik. Karena mengalami sesak napas dan kehilangan kesadaran, ia dirujuk ke RSUD dr. Hadrianus Sinaga. Namun Direktur RSUD, dr. Iwan Sihaloho, memastikan bahwa Army sudah meninggal setibanya di rumah sakit.
Sorotan publik kini mengarah pada lemahnya pengawasan. Kepala Lapas mengakui bahwa area tempat kejadian tidak dipantau kamera CCTV. Hal ini membuat proses penyelidikan semakin sulit karena bergantung sepenuhnya pada keterangan saksi.
Hingga kini, lapas belum dapat memastikan identitas pelaku maupun motif di balik penganiayaan tersebut.
Kasat Reskrim Polres Samosir, AKP Edwar Sidauruk, menyatakan bahwa kasus ini telah naik dari tahap penyelidikan ke penyidikan. Namun sejak pengumuman itu, belum ada publikasi lanjutan mengenai perkembangan saksi, gelar perkara, atau hasil pemeriksaan medis.
Sementara itu, jenazah Army ditempatkan di RSUD untuk keperluan pemeriksaan lebih lanjut. Pihak keluarga menyerahkan keputusan otopsi kepada aparat, berharap hasilnya dapat memberi gambaran jelas penyebab kematian.
Ibunda korban, Elly Tanjung, terus dilanda duka mendalam. Baginya, 40 hari berlalu tidak cukup meredakan rasa kehilangan. Ia menggambarkan anaknya sebagai pribadi yang bertanggung jawab, penurut, dan menjadi tulang punggung keluarga.
“Dia sangat sayang keluarga. Saya terkejut ketika dengar dia dipenjara. Tapi saya ikhlas, karena penjara bisa membuatnya berubah,” ucapnya lirih.
Percakapan terakhir antara Elly dan Army terjadi melalui video call sehari sebelum sang anak meninggal.
“Dia masih sehat. Dia minta saya kirim uang. Besoknya saya mau kirim, tapi malah dapat kabar dia meninggal. Seperti disambar petir rasanya.”
Selama Army berada di lapas, Elly rutin mengirim uang Rp500 ribu setiap 1–2 minggu. Kini ia mempertanyakan kegunaan uang tersebut:
“Untuk apa sebenarnya uang itu? Dia di penjara, seharusnya tidak butuh sebanyak itu.”
Elly juga mempertanyakan pengawasan petugas.
“Tidak mungkin anak saya dipukuli hanya sebentar. Harusnya ada penjaga. Kenapa dibiarkan?”
Meski hidup dalam keterbatasan dan tidak mampu menyewa penasihat hukum, Elly tetap berharap agar aparat penegak hukum bekerja objektif.
“Saya hanya ingin semuanya terang benderang. Tidak ditutup-tutupi. Biar hati saya tenang.”
Ia bahkan memberi pesan damai kepada pelaku.
“Saya sudah ikhlas. Saya hanya ingin mereka bertobat. Mungkin mereka juga punya anak.”
Meski sudah masuk hari ke-40, keluarga belum mendapat jawaban soal penyebab kematian Army maupun siapa pelaku pemukulan. Proses hukum masih berjalan tanpa perkembangan berarti.
Keluarga berharap kasus kematian AR Siregar ditangani secara independen dan transparan, demi memastikan tidak ada lagi kekerasan serupa di dalam lembaga pemasyarakatan.
(Redaksi,75)


