Penghinaan Kasar terhadap Wartawan di Media Sosial: “Siluman Babi”, “Manusia Taik”, hingga “Anjing Kurap” Diduga Serangan terhadap Profesi Pers


DAIRI, MitraBhayangkara.my.id — Kasus antara wartawan dan Kepala Desa Pegagan Julu VI, Kecamatan Sumbul, Kabupaten Dairi, Edward Sorianto, kini berkembang lebih jauh dan semakin memperlihatkan sisi gelap perilaku di ruang digital. Perseteruan yang awalnya bermula dari peliputan kasus di lapangan kini berujung pada penghinaan terbuka dan ujaran kebencian terhadap wartawan di media sosial Facebook.


Akun bernama Dodi Pangaribuan (tautan: https://web.facebook.com/dodi.pangaribuan.2025

) secara terbuka memuat kalimat-kalimat kasar, menghina, dan provokatif, yang menyebut nama dua wartawan yakni Bangun M.T. Manalu dan Baslan Naibaho, serta menampilkan foto Kartu Tanda Anggota (KTA) resmi Mitra Bhayangkara dengan kata-kata yang merendahkan martabat.



Dalam unggahan yang menjadi sorotan publik tersebut, tertulis:

“Waspada dgn Manusia Siluman Babi ini!! Gara-gara uang manusia ini jadi pengkhianat & tak tahu malu, siapa dirinya!! BG MAHONG.”



Unggahan lainnya bahkan bersifat provokatif dan mengandung ancaman, berbunyi:

“Bangun MT. Manalu & Baslan Naibaho!!! Siapa pun deking kalian 2 tak gentar ku ngadapi manusia taik seperti kalian berdua. Mahong siap tempur kapan kalian mau. Waspada Dairi, khususnya di kabupaten, dengan manusia labi ini BG MAHONG.”



Dan pada unggahan berikutnya, kata-kata penghinaan semakin kasar dan menjijikkan, menyerang pribadi wartawan dengan bahasa yang tidak pantas digunakan di ruang publik:

“Tak semua orang bisa kau olah di P.Baru anjing maka kau lari ke Kab. Dairi. Jadi di mana pun kau tetap anjing kurap yg tak laku info mu Baslan Naibaho heang.”



Unggahan tersebut dinilai bukan hanya bentuk penghinaan pribadi, tetapi sudah termasuk ujaran kebencian, ancaman, dan pelecehan profesi wartawan yang sedang menjalankan tugas jurnalistik secara resmi.


Wartawan Mitra Bhayangkara, yang menjadi korban dalam kasus ini, menegaskan bahwa tindakan akun Dodi Pangaribuan merupakan bentuk serangan dan intimidasi yang tidak bisa ditoleransi.

“Ini sudah melampaui batas. Penghinaan seperti itu bukan kritik, tapi bentuk provokasi yang mengarah pada ancaman. Kami punya bukti lengkap, dan semua unggahan itu akan kami laporkan secara hukum,” tegasnya.



Ia juga menambahkan bahwa pemberitaan sebelumnya dilakukan berdasarkan Surat Tanda Penerimaan Laporan (STPL) dari Polres Dairi dan sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik (KEJ), sehingga tidak ada alasan bagi pihak mana pun untuk merendahkan kerja jurnalistik yang sah.


Tindakan akun Facebook tersebut memenuhi unsur pelanggaran pidana berlapis, antara lain:

Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (3) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE, yang melarang penghinaan dan/atau pencemaran nama baik di media elektronik.

Ancaman pidana: 4 tahun penjara dan/atau denda Rp750 juta.

Pasal 28 ayat (2) UU ITE, tentang larangan menyebarkan informasi yang menimbulkan kebencian atau permusuhan berdasarkan individu atau kelompok masyarakat tertentu.

Ancaman pidana: 6 tahun penjara.

Pasal 310 dan 311 KUHP, tentang penghinaan dan fitnah yang dilakukan secara terbuka.

Pasal 18 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menyebutkan bahwa:

“Setiap orang yang dengan sengaja menghambat atau menghalangi pelaksanaan tugas jurnalistik dapat dipidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp500 juta.”



Pandangan Dewan Pers: Serangan terhadap Wartawan Adalah Serangan terhadap Demokrasi


Anggota Dewan Pers, Agus Sudibyo, mengecam keras tindakan penghinaan terhadap wartawan di media sosial. Ia menilai tindakan semacam ini merupakan bentuk pelecehan terhadap pilar demokrasi.


“Pers bekerja untuk kepentingan publik. Ketika wartawan diserang dan dihina di ruang publik, maka itu bukan hanya melukai individu, tetapi juga mengancam kebebasan pers yang dijamin oleh konstitusi,” ujar Agus Sudibyo.


Menurut Dr. M. Harahap, S.H., M.H., ahli hukum pidana dari Universitas Sumatera Utara (USU), unggahan yang berisi kata-kata seperti “siluman babi”, “manusia taik”, dan “anjing kurap” sudah memenuhi unsur delik penghinaan berat.


“Ini bukan ekspresi bebas atau opini pribadi, melainkan serangan langsung terhadap kehormatan seseorang dan profesinya. Ketika dilakukan di media sosial dengan identitas jelas, maka unsur kesengajaan dan niat untuk mempermalukan sudah terpenuhi,” tegasnya.


Ia menambahkan, jika unggahan itu juga mengandung unsur ancaman fisik seperti “siap tempur” dan “waspada”, maka pelaku dapat dijerat dengan Pasal 29 UU ITE tentang ancaman kekerasan, dengan hukuman maksimal 12 tahun penjara.


Langkah Tegas Redaksi Mitra Bhayangkara

Menanggapi hal tersebut, Pimpinan Umum Redaksi Mitra Bhayangkara, Jansen Sidabutar, S.Th, menyatakan bahwa pihaknya akan menempuh jalur hukum untuk melindungi integritas dan keselamatan wartawan di lapangan.

“Kami akan membuat laporan resmi ke kepolisian. Ini bukan hanya serangan terhadap wartawan kami, tapi terhadap kebebasan pers di Indonesia. Kami tidak akan diam menghadapi ujaran kebencian yang mengancam martabat profesi kami,” tegasnya.


Ia juga mengimbau agar masyarakat tidak terprovokasi dan tetap menjaga etika dalam menggunakan media sosial.

“Kebebasan berekspresi bukan berarti bebas menghina. Ruang digital harus digunakan untuk hal yang membangun, bukan menebar kebencian,” tambahnya.


Kasus penghinaan terbuka terhadap wartawan ini menjadi peringatan bahwa media sosial bukan tempat bebas tanpa batas hukum. Ujaran kebencian, penghinaan, dan ancaman di dunia maya tetap tunduk pada hukum pidana Indonesia.


Penegakan hukum yang tegas diharapkan dapat memberikan efek jera serta mengembalikan rasa hormat terhadap profesi wartawan sebagai pilar keempat demokrasi yang bekerja berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.


(Redaksi)

Post a Comment

Selamat Datang

To be published, comments must be reviewed by the administrator *

Lebih baru Lebih lama
Post ADS 1