Pontianak,Kalbar,MitraBhayangkara.my.id - Pernyataan Gubernur Kalimantan Barat, Drs. H. Ria Norsan, M.M., M.H., di forum resmi perayaan HUT ke-6 Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) pada Jumat (8/8/2025), memantik kontroversi di kalangan pers. Dalam pidatonya, Norsan menyebut sebagian media online sebagai “wartawan bodrex”—istilah bernuansa peyoratif yang umumnya digunakan untuk menyebut jurnalis yang dianggap tidak kredibel dan rawan disalahgunakan.
Ucapan itu disampaikan saat ia memuji televisi sebagai sumber informasi utama masyarakat, tetapi menuding media online kerap berganti nama atau akun namun tetap dikelola orang yang sama.
“Ini yang saya sebut wartawan bodrex. Rawan sekali disalahgunakan,” ujar Norsan di hadapan para jurnalis dan tamu undangan. Pernyataan tersebut menuai reaksi keras dari insan pers, khususnya jurnalis media online yang menilai label seperti itu dapat merendahkan profesi dan mengaburkan fungsi kontrol sosial pers di era digital. Forum yang seharusnya menjadi ajang mempererat kemitraan justru meninggalkan kesan negatif dan jarak emosional antara pemerintah daerah dan media.
Profesi jurnalis di Indonesia diatur tegas dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal 4 ayat (1) menjamin kemerdekaan pers, sementara Pasal 4 ayat (3) menegaskan bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional memiliki hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Fungsi pers, sebagaimana diatur Pasal 6 UU Pers, meliputi,
1. Menyampaikan informasi kepada publik,
2. Melakukan kontrol sosial,
3. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Selain itu, Pasal 8 menegaskan wartawan memperoleh perlindungan hukum dalam menjalankan profesinya, dan Pasal 18 ayat (1) memberikan sanksi pidana kepada siapa pun yang menghambat atau menghalangi kerja jurnalistik. Secara konstitusional, Pasal 28F UUD 1945 menjamin hak setiap orang untuk berkomunikasi, memperoleh, dan menyampaikan informasi.
Dengan demikian, melekat pada profesi jurnalis adalah mandat hukum yang kuat. Kritik dan liputan media termasuk yang dilakukan media online merupakan bagian dari mekanisme demokrasi yang sah, bukan ancaman bagi pemerintah.
Polemik Muncul di Tengah Sorotan Kasus PUPR Mempawah Kontroversi ucapan Gubernur ini muncul di saat publik tengah menyoroti kasus dugaan korupsi proyek peningkatan jalan di Kabupaten Mempawah tahun 2015, yang kini berada di bawah penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pada 25–29 April 2025, KPK menggeledah 16 lokasi di Mempawah, Sanggau, dan Pontianak, menyita dokumen proyek, barang bukti elektronik, dan catatan keuangan. Nilai kerugian negara diperkirakan mencapai Rp40 miliar. KPK telah memanggil Kepala Dinas PUPR Mempawah, Hamdani, serta tiga ASN lainnya sebagai saksi. Pada 13 Juni 2025, adik kandung Gubernur, Ria Mulyadi, yang menjabat Ketua DPRD Mempawah periode 2019–2024, diperiksa sebagai saksi terkait proyek dua ruas jalan senilai Rp71,15 miliar.
Selain itu, nama Ria Norsan sendiri kerap muncul dalam persidangan perkara BP2TD Mempawah. Dalam salah satu sidang, namanya disebut hingga 165 kali, termasuk bukti kwitansi penerimaan uang Rp17,5 miliar dari seorang mantan pejabat, yang disebut masuk ke rekeningnya ketika ia masih menjabat Bupati. Fakta ini menambah tekanan publik agar Gubernur Kalimantan Barat itu memberikan klarifikasi terbuka terkait tudingan yang beredar.
Ketua DPD Komite Wartawan Reformasi Indonesia (KWRI) Kalimantan Barat, Edi Azhari, S.H, menilai ucapan “wartawan bodrex” justru memperlihatkan sikap defensif Gubernur terhadap pemberitaan yang mengangkat kasus-kasus sensitif. “Jangan urusi wartawan online. Buktikan saja janji visi-misi, seperti soal rencana mengambil alih Pelindo. Kapan itu akan dilakukan? Jangan cuma omong kosong,” tegas Edi.
Edi menekankan, pers memiliki legitimasi hukum untuk melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan. Kritik media adalah bagian dari mekanisme check and balance, bukan ancaman. “Seorang pemimpin yang percaya diri seharusnya menjawab kritik dengan prestasi dan transparansi, bukan dengan label yang merendahkan profesi,” tambahnya.
Ucapan yang merendahkan profesi jurnalis, apalagi di forum publik, berpotensi menurunkan kualitas hubungan antara pemerintah dan media. Di saat bersamaan, proses hukum KPK terhadap kasus PUPR Mempawah menjadi ujian besar bagi integritas Gubernur Kalbar.
Masyarakat kini menunggu langkah nyata Gubernur: apakah ia akan menjawab kritik media dengan kerja konkret, membuktikan komitmen pada janji-janji politik, dan bersikap terbuka terhadap proses hukum yang menyentuh lingkar keluarganya.
Pers, sebagai salah satu pilar demokrasi, akan terus menjalankan fungsinya berdasarkan amanat konstitusi dan undang-undang. Hubungan sehat antara pemerintah dan media hanya dapat terwujud jika kritik dijawab dengan kebijakan publik yang transparan, akuntabel, dan berpihak pada rakyat.
Penulis: Aspandi