Pontianak,Kalbar,Mitra Bhayangkara.my.id – Sengketa tanah seluas 16.108 M² di Jalan A. Yani II, Kubu Raya, yang berasal dari warisan almarhumah Hj. Saleha, memasuki babak baru dengan dugaan keterlibatan mafia hukum dan praktik jual beli tanah cacat hukum.
Tanah tersebut awalnya tercatat dalam Surat Aked No. Kebon 358 Tahun 1939 atas nama Hj. Saleha. Setelah Hj. Saleha wafat pada 1978 tanpa keturunan, tanah diwariskan kepada suaminya, H. Ali Bin Lakana, dan keponakan sepupunya, Abdullah Bin Daeng Tamanengah, masing-masing setengah bagian berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No. 86 K/AG/1989.
Namun, pada 1990, tanpa sepengetahuan ahli waris Abdullah, H. Ali Bin Lakana memproses sertifikat atas nama dirinya sendiri. Sertifikat tersebut kemudian dibatalkan BPN Kalbar (SK No. 01 Tahun 2002), tetapi sebelum itu, tanah sudah dijual kepada Dahlan Iskan melalui AJB Nomor 536/SR/PPAT/1993. Transaksi tersebut terbukti cacat hukum karena kuasa jual digunakan untuk pemalsuan tanda tangan, dan pelakunya dijatuhi hukuman 3 tahun penjara (Putusan PN Pontianak No. 248.PID.B.S/AN/194/PN.PTK, 26 Februari 1996).
Akibat cacat hukum, SHM atas nama Dahlan Iskan dibatalkan, dan BPN Kubu Raya menerbitkan dua sertifikat baru masing-masing untuk ahli waris: Daeng Sabirin dan H. Syafi’i Taha. Namun, Dahlan Iskan menggugat pembatalan tersebut hingga Peninjauan Kembali (PK) No. 28 PK/TUN/2005. Putusan PK yang memenangkan Dahlan Iskan memicu kontroversi karena hakim PK merupakan hakim yang sama di tingkat kasasi. Panitera MA bahkan mengirim surat menyatakan ada kesalahan administrasi dan perkara akan disidangkan ulang—sebuah langkah yang dinilai tidak lazim secara hukum.
Meski sengketa belum tuntas secara final, tanah kini telah beralih ke pihak investor dan tengah dibangun Mal Living Plaza. Pihak ahli waris menilai proses hukum dipermainkan mafia peradilan, sementara pengurusan sertifikat baru sejak 2015 tak kunjung selesai meski peta bidang sudah diterbitkan BPN.
Ahli waris, melalui kuasa Daeng Sabirin, menegaskan akan menempuh langkah hukum dan menolak segala bentuk intimidasi, termasuk dugaan permintaan uang dari oknum pejabat BPN hingga pengambilalihan paksa lahan oleh aparat. Mereka menilai kasus ini menjadi bukti nyata bobroknya praktik hukum tanah dan mafia sertifikat di Indonesia.
(BSG/Tim)