Jansen Sidabutar Kecam Keras Kekerasan terhadap Wartawan: “Profesi Jurnalis Dilindungi UU, Tidak Boleh Dianiaya!

Mitra Bhayangkara, Semarang – Insiden kekerasan terhadap wartawan kembali terjadi dan memicu keprihatinan serius dari berbagai kalangan. Pimpinan Redaksi Mitra Bhayangkara, Jansen Sidabutar, mengecam keras dugaan penganiayaan terhadap seorang wartawan online oleh oknum anggota TNI, sebagaimana diberitakan oleh salah satu media daring. (Sabtu, 11/11).


Jansen menegaskan bahwa profesi wartawan merupakan profesi yang dilindungi oleh negara, sehingga setiap tindakan kekerasan terhadap jurnalis merupakan pelanggaran hukum.

“Profesi wartawan dilindungi oleh Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999. Dalam menjalankan tugas jurnalistik, seorang wartawan memiliki hak untuk bekerja dengan aman tanpa ancaman atau kekerasan,” tegas Jansen.

 

Jansen menjelaskan bahwa kekerasan terhadap wartawan mencakup semua tindakan yang dialami saat menjalankan tugas peliputan maupun akibat dari karya jurnalistiknya. Ia merinci bentuk-bentuk kekerasan tersebut:

  1. Kekerasan fisik, meliputi penganiayaan ringan maupun berat, penyiksaan, penyekapan, penculikan, hingga pembunuhan.

  2. Kekerasan non-fisik, seperti ancaman verbal, intimidasi, penghinaan, penggunaan kata-kata merendahkan, dan pelecehan.

  3. Perusakan peralatan liputan, termasuk penghancuran kamera, ponsel, alat perekam, maupun barang-barang lain yang digunakan untuk meliput.

  4. Menghalangi kerja jurnalistik, berupa perampasan alat kerja, tekanan yang membatasi akses informasi, atau tindakan apa pun yang membuat wartawan tidak bisa menjalankan tugasnya.


Menurut Jansen, tindakan menghalangi kerja jurnalistik jelas diatur sebagai tindak pidana dalam Undang-Undang Pers.

“Pasal 18 ayat (1) UU Pers menegaskan bahwa siapa pun yang menghambat atau menghalangi tugas wartawan dapat dipidana penjara hingga 2 tahun atau denda sampai Rp500 juta. Ini bukan aturan main biasa, tetapi perintah undang-undang,” ujarnya.

 

Jansen juga mengingatkan bahwa apabila terdapat keberatan terhadap pemberitaan, pihak yang merasa dirugikan harus menempuh jalur hak jawab, hak koreksi, atau melaporkannya kepada Dewan Pers.

“Tidak ada alasan untuk melakukan kekerasan kepada wartawan. Jika tidak sepakat dengan berita, gunakan mekanisme resmi. Dengan cara itu, tidak timbul konflik baru dan tidak membuka pintu bagi tindakan anarkis,” tambahnya.


Ia berharap seluruh aparat, lembaga, maupun masyarakat memahami posisi strategis pers sebagai pilar demokrasi, sehingga kasus kekerasan terhadap jurnalis tidak terus berulang.

“Kami mendorong penegakan hukum tegas terhadap pelaku. Ini penting untuk memastikan keselamatan wartawan di lapangan dan menjaga marwah kebebasan pers di Indonesia,” tutup Jansen Sidabutar.

 


(Redaksi)

 

Post a Comment

Selamat Datang

To be published, comments must be reviewed by the administrator *

Lebih baru Lebih lama
Post ADS 1