Larangan CSR Perusahaan Perusak Lingkungan: Ada Apa di Balik Sikap Tegas Bupati Samosir?


Samosir, Mitrabhayangkara.my.id
– Langkah tegas Pemerintah Kabupaten Samosir yang tertuang dalam Surat Edaran Nomor 23 Tahun 2025, tentang larangan menerima bantuan dari perusahaan atau lembaga yang berpotensi merusak lingkungan, menimbulkan perhatian besar kalangan pemerhati lingkungan dan aktivis di kawasan Danau Toba. Surat edaran ini tidak hanya bersifat administratif, tetapi menjadi sinyal bahwa pemerintah daerah mulai mengambil kebijakan strategis menghadapi tekanan eksploitasi sumber daya alam yang selama ini menjadi sorotan publik.


Surat Edaran yang ditandatangani Bupati Samosir pada 28 November 2025 ini ditujukan kepada seluruh OPD, Camat, dan Kepala Desa se-Kabupaten Samosir. Pemerintah meminta seluruh jajarannya bersikap tegas untuk tidak menerima bantuan CSR dari perusahaan yang tercatat memiliki rekam jejak buruk terhadap lingkungan, termasuk PT Toba Pulp Lestari, Tbk (TPL) dan PT Aqua Farm Nusantara.


Namun, apa yang sebenarnya melatarbelakangi sikap tegas ini? Apakah hanya sekadar himbauan administratif, atau ada persoalan lingkungan yang lebih serius di lapangan?


Dalam beberapa tahun terakhir, laporan dari warga, pemerhati lingkungan, dan lembaga pengkaji ekologi menunjukkan adanya berbagai keluhan mengenai aktivitas perusahaan yang dituding merusak kawasan hutan, perairan, dan ekosistem Danau Toba.


Beberapa fakta yang kerap mencuat:

  • Keluhan warga terkait penurunan kualitas air dan bau tidak sedap di wilayah-wilayah operasional perusahaan.

  • Penggundulan kawasan hutan yang diduga berkaitan dengan konsesi industri pulp.

  • Peningkatan sedimentasi dan pencemaran perairan yang diduga bersumber dari aktivitas perusahaan perikanan intensif.

  • Meningkatnya konflik lahan antara warga dan perusahaan dalam beberapa tahun terakhir.


Pada titik inilah pemerintah daerah mulai mendapat tekanan publik. Setiap penerimaan bantuan atau CSR dari perusahaan yang bermasalah dikhawatirkan memunculkan persepsi bahwa pemerintah “berpihak” kepada pihak yang merusak lingkungan.


Dalam praktik di lapangan, CSR (Corporate Social Responsibility) kerap menjadi alat pendekatan perusahaan untuk meredam kritik dan memenangkan kepercayaan publik. Namun, ketika CSR bersumber dari perusahaan yang diduga merusak lingkungan, publik menilai itu sebagai “greenwashing” atau pencitraan lingkungan yang menyesatkan.


Beberapa risiko jika pemerintah menerima CSR dari perusahaan bermasalah:

  • Munculnya konflik kepentingan antara pemerintah dan masyarakat.

  • Turunnya kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah.

  • Pemerintah dianggap berkompromi dengan aktivitas yang mencemari lingkungan.

  • Hilangnya independensi pemerintah dalam menindak perusahaan perusak lingkungan.


Surat edaran ini menjadi langkah mencegah intervensi kepentingan dan memastikan pemerintah tetap berada pada posisi yang netral dan berpihak kepada rakyat serta lingkungan.



Beberapa pakar lingkungan menilai kebijakan ini sebagai langkah progresif.

Dr. Maruli Sitohang, pakar ekologi perairan Danau Toba, menyatakan:

“Larangan menerima CSR dari perusahaan yang memiliki catatan buruk terkait lingkungan adalah langkah yang sangat berani. Banyak pemerintah daerah terjebak dalam dilema menerima bantuan, namun dalam jangka panjang justru menimbulkan konflik dan kerusakan ekologi yang lebih besar.”


Sementara itu, Dosen Hukum Lingkungan Universitas Sumatera Utara, Dr. Annisa Lubis, SH., MH, memberikan pandangan dari sisi regulasi:

“Surat edaran ini selaras dengan amanat UU PPLH. Pemerintah daerah tidak boleh menutup mata terhadap aktivitas industri yang berisiko merusak lingkungan. Penolakan CSR adalah bentuk integritas dan keberpihakan kepada masyarakat.”


Kebijakan ini mendapat respons positif dari sebagian masyarakat yang selama ini mengeluhkan dampak lingkungan dari aktivitas perusahaan. Namun, di sisi lain, sejumlah pihak menilai bahwa larangan ini harus ditindaklanjuti dengan langkah konkret seperti:

  • Audit lingkungan terhadap perusahaan yang beroperasi di Samosir.

  • Pengawasan ketat terhadap izin usaha dan perizinan Amdal.

  • Transparansi laporan kerusakan lingkungan kepada publik.

  • Tindak tegas bila ditemukan pelanggaran lingkungan.


Tanpa langkah konkret, surat edaran ini dikhawatirkan hanya menjadi simbol tanpa kekuatan.


Isi Pokok Surat Edaran Nomor 23 Tahun 2025

  1. Melarang penerbitan rekomendasi atau dukungan kepada kegiatan usaha yang berpotensi merusak lingkungan.

  2. Melarang menerima bantuan CSR dari perusahaan-perusahaan yang dianggap memiliki risiko terhadap kelestarian lingkungan, termasuk PT Toba Pulp Lestari dan PT Aqua Farm Nusantara.

  3. Mendorong masyarakat untuk melapor dan memastikan setiap pengaduan ditindaklanjuti sesuai kewenangan.


Surat Edaran Bupati Samosir bukanlah kebijakan biasa. Ini adalah sinyal kuat bahwa pemerintah mulai meningkatkan standar tata kelola lingkungan di kawasan Danau Toba.


Sikap tegas ini harus terus dikawal publik agar tidak hanya menjadi dokumen administratif, tetapi menjadi alat untuk:

  • menjaga kelestarian lingkungan,

  • mencegah konflik sosial,

  • dan memastikan pembangunan berjalan tanpa mengorbankan masa depan ekologi Danau Toba.


 Di bawah ini ringkasan investigatif yang dilengkapi data dan sumber:

1) Kerusakan hutan dan laju deforestasi di Sumatra & Sumatera Utara

  • Sejak awal abad ke-21, Pulau Sumatra dilaporkan mengalami kehilangan hutan yang besar — sekitar 4,4 juta hektar hutan hilang sejak 2001, yang para pengamat kaitkan dengan aktivitas penebangan, perkebunan dan pertambangan. Perubahan ini memperbesar kerentanan kawasan terhadap banjir dan longsor. 

  • Untuk konteks provinsi, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan angka deforestasi (netto) yang tercatat untuk Sumatera Utara selama periode pemantauan nasional — data resmi seperti ini diperlukan untuk melihat tren lokal dan memberi dasar pengawasan kebijakan. 

(Mengapa penting: perubahan tutupan hutan di Hulu mempengaruhi aliran sediment dan risiko bencana di hilir, termasuk di kawasan Samosir.)


2) Perubahan penggunaan lahan di daerah tangkapan Danau Toba

  • Studi terbaru menunjukkan adanya perubahan penggunaan lahan di daerah tangkapan Danau Toba: lahan kering (dry fields) meningkat dari sekitar 72.961 ha menjadi ~125.000 ha, sebuah kenaikan yang menggambarkan alih fungsi lahan yang signifikan dan potensi gangguan fungsi hidrologi lokal. Perubahan seperti ini mempercepat erosi dan sedimentasi ke Danau Toba.


3) Sedimentasi dan keluaran nutrien di Danau Toba

  • Kajian ilmiah tentang beban fosfor total (TP) di Danau Toba memperkirakan akumulasi TP (bahan nutrien yang mendorong eutrofikasi) mencapai kisaran 7,1 ton per tahun menurut salah satu studi lingkungan yang menilai masukan nutrien dan potensi eutrofikasi. Angka ini penting karena akumulasi nutrien memicu penurunan kualitas air dan peristiwa kematian ikan massal.


4) Peristiwa kematian ikan massal dan dampak perikanan

  • Peristiwa kematian ikan massal pernah terjadi di Teluk Haranggaol (Danau Toba) dan pada waktu itu ilmuwan mengaitkannya dengan penurunan oksigen yang dipicu peningkatan polutan dan praktik budidaya yang tidak berkelanjutan. Peristiwa semacam ini berdampak langsung pada kesejahteraan nelayan lokal dan ketersediaan pangan.


5) Rekam jejak perusahaan dan catatan publik

  • Berbagai kajian dan laporan masyarakat menyebutkan adanya pengaruh negatif dari praktik industri pulp dan budidaya intensif terhadap kualitas air, kesehatan masyarakat dan mata pencaharian. Ada dokumen-dokumen yang menelaah dampak PT Toba Pulp Lestari terhadap fungsi hidrologi dan ekosistem di kawasan sekitar Danau Toba. Sementara pihak perusahaan merilis laporan tanggung jawab lingkungan, sejumlah LSM dan studi independen memberikan catatan perbedaan yang perlu ditelusuri lebih lanjut. 




Post a Comment

Selamat Datang

To be published, comments must be reviewed by the administrator *

Lebih baru Lebih lama
Post ADS 1