Rantau Parapat, MitraBhayangkara.my.id – Polemik dugaan penyimpangan penggunaan Dana Desa (DD) Tahun Anggaran 2024 di Desa Emplassemen Aek Nabara, Kecamatan Bilah Hulu, Kabupaten Labuhanbatu, Sumatera Utara, kian menguat. Kepala Desa Sardi Bagun memilih bungkam dan menolak memberikan konfirmasi tertulis kepada wartawan, termasuk melalui pesan WhatsApp, terkait rincian dan realisasi anggaran dana desa.
Sikap tertutup tersebut justru memicu kecurigaan publik. Sejumlah warga menilai penolakan klarifikasi bertentangan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan desa, sekaligus menguatkan dugaan adanya mark-up anggaran dalam beberapa item kegiatan Dana Desa 2024.
Berdasarkan penelusuran dan keterangan warga berinisial Lyh, terdapat sejumlah kegiatan yang diduga bermasalah, antara lain:
- Pengelolaan dan Pembuatan Jaringan/Instalasi Komunikasi dan Informasi Lokal Desa: Rp 10.500.000
- Pengelolaan dan Pembuatan Jaringan/Instalasi Komunikasi dan Informasi Lokal Desa: Rp 6.000.000
- Pembangunan/Rehabilitasi/Peningkatan Fasilitas Jamban Umum/MCK Umum: Rp 15.073.500
- Pembangunan/Rehabilitasi/Peningkatan Fasilitas Jamban Umum/MCK Umum: Rp 78.522.500
- Pembangunan/Rehabilitasi/Peningkatan Sanitasi Permukiman (gorong-gorong, selokan, parit): Rp 19.268.500
- Pembangunan/Rehabilitasi/Peningkatan Sanitasi Permukiman (gorong-gorong, selokan, parit): Rp 13.183.990
Menurut Lyh, sejumlah laporan pertanggungjawaban (LPJ) Dana Desa diduga dimanipulasi, khususnya pada pos belanja modal dan belanja barang habis pakai, baik kegiatan fisik maupun nonfisik. “Anggaran di atas kertas terlihat besar, tapi realisasi di lapangan tidak sebanding,” ungkapnya.
Praktik tersebut berpotensi melanggar sejumlah ketentuan peraturan perundang-undangan, di antaranya:
- Pasal 72 ayat (1) dan (2) UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang mengatur Dana Desa harus dikelola secara transparan, akuntabel, dan partisipatif.
- Pasal 24 huruf f UU Desa, yang mewajibkan kepala desa menyelenggarakan pemerintahan desa secara terbuka.
- Pasal 3 dan Pasal 9 Permendagri Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, yang menegaskan asas transparansi, akuntabilitas, dan disiplin anggaran.
- Jika terbukti merugikan keuangan negara, perbuatan tersebut dapat dijerat Pasal 2 atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ancaman pidana penjara dan denda.
Pakar hukum pidana dari salah satu perguruan tinggi negeri di Sumatera Utara, Dr. Ahmad Siregar, S.H., M.H., menegaskan bahwa sikap kepala desa yang menolak memberikan klarifikasi publik merupakan sinyal awal persoalan hukum.
“Dana Desa adalah uang negara. Ketika kepala desa menutup akses informasi, itu sudah melanggar asas keterbukaan. Jika ditemukan mark-up atau laporan fiktif, unsur tindak pidana korupsi sangat mungkin terpenuhi,” ujarnya.
Sementara itu, pengamat tata kelola keuangan publik Dr. Rina Harahap, M.Ak., menilai pola pengulangan kegiatan dengan nomenklatur sama dan nilai berbeda patut diaudit. “Duplikasi item anggaran sering menjadi modus untuk menggelembungkan biaya. Aparat penegak hukum perlu menelusuri bukti administrasi dan fisik di lapangan,” katanya.
Masyarakat kini mendesak Kejaksaan Negeri (Kejari) Labuhanbatu segera turun tangan memeriksa Kepala Desa Sardi Bagun dan seluruh perangkat terkait. Langkah tersebut dinilai penting untuk membuka tabir dugaan mark-up serta mencegah praktik korupsi Dana Desa yang merugikan masyarakat.
Lyh menegaskan, dirinya siap menyerahkan bukti tambahan apabila proses hukum resmi telah berjalan. “Kami ingin ada efek jera. Dana desa itu hak masyarakat, bukan untuk dipermainkan,” pungkasnya.
Hingga berita ini diterbitkan, Kepala Desa Emplassemen Aek Nabara belum memberikan keterangan resmi meski telah diupayakan konfirmasi berulang kali.
(Pewarta : Kennedi P)


