Dairi, MitraBhayangkara.my.id — Proses konstatering yang dilakukan Pengadilan Negeri (PN) Sidikalang di Dusun Lae Bunga, Desa Lae Hole, Kecamatan Parbuluan, Kabupaten Dairi pada Kamis, 13 November 2025, memicu polemik besar. Tim juru sita PN Sidikalang, yang dipimpin Nelson Saragih dkk., diduga melakukan pemeriksaan objek sengketa tanah tanpa mengikuti prosedur hukum yang berlaku. Kejanggalan mengemuka ketika tim juru sita menolak memberikan dokumen dan memilih meninggalkan wartawan yang hendak mengonfirmasi.
Temuan tersebut menguatkan dugaan bahwa proses peradilan terkait sengketa tanah di wilayah itu “tersandera” dan berpotensi berada di bawah bayang-bayang mafia tanah.
Menurut keterangan tiga wartawan yang hadir di lokasi, tim juru sita pada awalnya mengaku menjalankan “perintah putusan PN Sidikalang”. Namun ketika diminta menunjukkan dokumen, surat tugas, dan salinan putusan pengadilan, Nelson Saragih justru menghindar dan meninggalkan lokasi.
“Kami hanya menanyakan dokumen, maksud dan dasar hukum pelaksanaan. Tetapi juru sita memilih pergi tanpa memberikan penjelasan,” ujar salah satu wartawan yang enggan disebutkan namanya.
Sikap tidak kooperatif tersebut dianggap janggal, mengingat petugas juru sita memiliki kewajiban memberikan informasi dasar terkait tugas pengadilan kepada pihak yang berkepentingan maupun publik berdasarkan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).
Fakta lain yang menimbulkan kecurigaan adalah tidak hadirnya saksi batas tanah, aparat penegak hukum, perangkat desa, tokoh masyarakat, maupun pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Padahal, prosedur konstatering menuntut keterlibatan pihak-pihak tersebut untuk memastikan akurasi objek sengketa.
Landasan hukum yang dilanggar:
Pasal 31 UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA)
Mengatur kewajiban menghadirkan saksi batas dalam penetapan dan pemeriksaan tanah demi menjamin kejelasan dan kepastian objek.
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) tentang pemeriksaan setempat (konstatering)
Petugas pengadilan wajib:
menghadirkan saksi batas,
mencatat kondisi objek secara objektif,
melibatkan pihak yang mengetahui riwayat tanah,
melibatkan perangkat desa atau otoritas pertanahan.
Merupakan bagian dari UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menegaskan bahwa setiap tindakan aparat peradilan harus terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.
Ketiadaan saksi batas dan pihak resmi dalam proses tersebut membuat hasil konstatering rawan dipertanyakan legalitasnya.
Pakar hukum agraria dari Universitas HKBP Nomensen, Dr. R. Simanjuntak, SH., MH., menilai tindakan juru sita PN Sidikalang sudah masuk kategori penyimpangan prosedur.
“Tanpa saksi batas dan tanpa pendampingan desa atau BPN, konstatering itu secara substansi tidak sah. Pemeriksaan objek harus melibatkan pihak yang mengetahui batas dan kepemilikan tanah,” tegas Dr. Simanjuntak.
Ia menyebut bahwa tindakan menghindar dari wartawan mengindikasikan adanya hal yang hendak ditutup-tutupi.
“Juru sita yang menolak membuka dokumen dan kabur saat dikonfirmasi adalah pelanggaran serius terhadap asas akuntabilitas peradilan,” tambahnya.
Sementara itu, pengamat peradilan dari Lembaga Etika Pengawasan Penegak Hukum (LEPPH), Irwansyah Harahap, SH., menyebut adanya indikasi bahwa PN Sidikalang tidak netral dalam penanganan kasus sengketa tanah tersebut.
“Jika unsur-unsur wajib dalam konstatering sengaja dihilangkan, besar kemungkinan ada intervensi. Ini pola klasik mafia tanah: mempercepat proses formal sambil menutup akses informasi,” katanya.
Irwansyah meminta Komisi Yudisial (KY) dan Ombudsman RI turun tangan menilai dugaan pelanggaran etik juru sita dan potensi penyalahgunaan kewenangan.
Masyarakat Resah dan Curiga: “Ada yang Ditutupi”
Warga Dusun Lae Bunga menyatakan bahwa mereka tidak pernah diminta hadir sebagai saksi batas tanah oleh juru sita PN Sidikalang. Bahkan perangkat desa mengaku tidak menerima pemberitahuan resmi terkait jadwal konstatering.
“Kami tidak diberitahu apa pun. Tiba-tiba juru sita datang lalu pergi setelah didatangi wartawan. Ini aneh,” kata salah satu tokoh masyarakat Lae Hole.
Kondisi ini menguatkan dugaan bahwa proses konstatering dilakukan secara tertutup untuk menguntungkan salah satu pihak dalam sengketa tanah.
Beberapa organisasi masyarakat sipil di Dairi mendesak Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial melakukan evaluasi terhadap PN Sidikalang. Mereka meminta:
Pemeriksaan juru sita Nelson Saragih dkk.
Audit prosedural terhadap proses konstatering di Lae Bunga.
Pengulangan konstatering dengan prosedur lengkap dan melibatkan saksi batas serta BPN.
Perlindungan hukum bagi warga dari potensi intimidasi mafia tanah.
“Keadilan tidak boleh dijual kepada kepentingan kelompok elite. PN Sidikalang harus diawasi,” ujar Irwansyah Harahap.
Kasus konstatering di Lae Hole bukan sekadar persoalan teknis, tetapi menyangkut integritas lembaga peradilan di daerah. Transparansi yang minim, juru sita yang menghindar, serta prosedur wajib yang tidak dipenuhi memperlihatkan adanya potensi penyimpangan serius.
Apabila dugaan ini terbukti, maka bukan hanya proses konstatering yang cacat, tetapi keseluruhan jalannya peradilan terancam tidak memenuhi asas “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Pewarta : Baslan Naibaho

.jpeg)