Dairi, MitraBhayangkara.my.id — Aktivitas perambahan hutan produksi di Kabupaten Dairi kembali mencuat dan menjadi sorotan tajam. Di kawasan hutan lindung produksi Desa Sigalingging, Kecamatan Parbuluan, perbatasan Kabupaten Dairi dan Kabupaten Pakpak Bharat, marak terlihat kegiatan penebangan kayu secara ilegal yang diduga dilakukan secara terorganisir. Pantauan wartawan di lapangan menunjukkan adanya praktik tebang pilih yang mengarah pada penjarahan kayu bernilai tinggi, yang kemudian diduga dijual ke sejumlah panlong (penampungan kayu) di wilayah Dairi.( 29 November 2025)
Kondisi hutan lindung di wilayah tersebut kian memprihatinkan. Sejumlah titik tampak gundul dan berubah menjadi areal yang telah digarap menjadi kebun masyarakat. Temuan di lokasi memperlihatkan adanya dugaan jual beli lahan hutan antar-oknum masyarakat dengan dalih “tidak akan diurus pemerintah”. Tindakan ini jelas bertentangan dengan aturan pengelolaan kawasan hutan negara.
Sejumlah warga yang enggan disebutkan namanya menuturkan, maraknya aktivitas penebangan kayu ilegal bukan dilakukan oleh masyarakat biasa semata, tetapi diduga melibatkan oknum yang memiliki modal dan jaringan kuat.
“Yang menebang itu bukan orang kecil saja. Ada yang mengatur, ada yang membeli, ada yang mengawasi. Kayu-kayu itu dibawa keluar malam hari. Panlong di Dairi pun tahu dari mana asal kayu-kayu itu,” ujar salah satu warga setempat kepada wartawan.
Warga juga menilai, aparat yang berwenang mulai dari penegak hukum hingga Dinas Kehutanan KPH XIV Dairi dinilai kurang peka dan terkesan membiarkan aktivitas tersebut berlangsung.
Sejumlah titik di Desa Sigalingging sebelumnya telah ditetapkan sebagai kawasan rawan perambahan (zona merah) oleh instansi kehutanan. Namun kondisi di lapangan justru menunjukkan bahwa kawasan itu semakin terbuka dan terus digarap.
Tim wartawan yang turun langsung ke lokasi pada 29 November 2025 mendapati sejumlah lahan yang sudah ditanami tanaman masyarakat seperti jagung dan kopi di dalam kawasan yang seharusnya merupakan hutan lindung produksi.
Untuk memperkuat temuan investigatif, redaksi meminta pendapat seorang ahli kehutanan dan tata lingkungan, Dr. Andika Sihombing, yang menegaskan bahwa situasi perambahan di Dairi sudah masuk kategori darurat.
“Ketika hutan lindung produksi sudah dibuka secara ilegal dan berubah fungsi menjadi lahan pertanian, maka efeknya akan langsung terlihat dalam 3–5 tahun ke depan. Longsor, banjir bandang, dan hilangnya sumber air bersih adalah konsekuensi paling cepat,” jelas Dr. Andika.
Ia menambahkan bahwa praktik penebangan kayu ilegal biasanya melibatkan jaringan yang tertata.
“Tidak mungkin ada mafia kayu berjalan tanpa oknum aparat atau oknum instansi yang tutup mata. Jika penegakan hukum lemah, perambahan akan semakin menjadi budaya,” tegasnya.
Masyarakat mempertanyakan kinerja KPH XIV Dairi, Pemerintah Kabupaten Dairi, dan Pemerintah Kabupaten Pakpak Bharat. Mereka mendesak agar pihak terkait turun langsung ke lapangan untuk menghentikan perambahan sebelum hutan semakin rusak.
“Ini hutan lindung, bukan lahan pribadi. Kalau dibiarkan, nanti yang kena bencana masyarakat juga. Pemerintah harus bertindak. Jangan tunggu semuanya habis baru sibuk,” ujar seorang tokoh masyarakat Parbuluan.
Dari hasil investigasi, ditemukan indikasi bahwa sebagian lahan di kawasan hutan lindung tersebut diperjualbelikan antar-oknum masyarakat. Praktik ini bertentangan dengan Undang-Undang Kehutanan No. 41 Tahun 1999, yang menegaskan bahwa kawasan hutan negara tidak dapat diperjualbelikan atau dimiliki oleh pihak manapun.
Kasus ini menambah panjang daftar kerusakan hutan di Dairi. Pemerintah pusat maupun daerah diminta tidak tinggal diam. Jika tindakan tegas tidak segera dilakukan, bukan hanya hutan yang hilang, tetapi juga masa depan generasi yang bergantung pada kelestarian lingkungan.
(Pewarta: Baslan Naibaho)

