Tapanuli Utara, MitraBhayangkara.my.id – Aroma dugaan korupsi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) tahun anggaran 2024 menyeruak di SMKN 1 Siatas Barita, yang beralamat di Jalan Marhusa Simorangkir, Huta Toruan I, Kecamatan Siatas Barita, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Total dana BOS yang dikelola sekolah ini mencapai Rp 2.224.040.000.
Namun, alih-alih terbuka terhadap publik, Kepala Sekolah SMKN 1 Siatas Barita, Ediaman Napitupulu, justru diduga menghalangi akses informasi dan peliputan wartawan, melanggar prinsip keterbukaan informasi publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP).
Insiden terjadi saat wartawan hendak meliput kondisi plafon ruang sekolah yang kabarnya diganti menggunakan uang pribadi kepala sekolah. Saat proses dokumentasi, wartawan justru dihalang oleh pihak keamanan sekolah (satpam) dan dilarang mengambil gambar.
Hasil penelusuran MitraBhayangkara.my.id menemukan adanya indikasi mark-up dan penggelembungan harga pada sejumlah pos penggunaan dana BOS tahun 2024. Dengan jumlah siswa 1.316 orang, dana BOS yang dikelola sekolah tersebut seharusnya difokuskan pada kebutuhan pembelajaran dan sarana pendidikan.
Namun, laporan penggunaan dana menunjukkan sejumlah pos yang janggal, di antaranya:
-
Pemeliharaan gedung sekolah dua kali dalam setahun, dengan nilai Rp 72.240.000 dan Rp 145.035.500.
-
Pengelolaan administrasi sekolah sebesar Rp 339.873.000, yang diduga kuat dimark-up baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan.
Beberapa sumber internal menyebutkan bahwa pelaksanaan kegiatan dan penyusunan laporan pertanggungjawaban dilakukan secara sistematis dan tidak sesuai realisasi lapangan.
Menariknya, Kepala Sekolah Ediaman Napitupulu mengakui bahwa dirinya telah diperiksa pihak Kejaksaan terkait pengelolaan dana BOS tersebut. Ia juga mengonfirmasi adanya laporan yang masuk ke aparat penegak hukum.
“Silakan buat surat resmi kepada Kepala Cabang Dinas Pendidikan Wilayah IX, Alfred H. Silalahi, supaya saya bisa menjawab pertanyaan soal BOS,” ujar Ediaman kepada wartawan, sembari menolak memberikan keterangan lebih lanjut.
Tindakan menghalangi wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistik dapat dijerat dengan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menyatakan:
“Setiap orang yang dengan sengaja menghambat atau menghalangi pelaksanaan kegiatan jurnalistik dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.”
Selain itu, tindakan pelarangan peliputan di area publik seperti sekolah negeri juga dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap Pasal 551 KUHP, yang mengatur mengenai larangan masuk ke tempat umum tanpa hak yang sah.
Dari aspek korupsi, indikasi penyalahgunaan dana BOS termasuk dalam pelanggaran Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda hingga Rp 1 miliar.
Kasus ini menimbulkan keresahan di masyarakat, terutama para orang tua siswa yang menuntut adanya transparansi penggunaan dana BOS. Mereka meminta Kejaksaan Negeri Tapanuli Utara, Inspektorat, dan BPKP segera turun melakukan audit investigatif terhadap penggunaan anggaran di SMKN 1 Siatas Barita.
“Dana BOS itu milik rakyat, harus transparan. Kalau ada penyimpangan, aparat hukum wajib bertindak,” ujar seorang tokoh masyarakat Siatas Barita yang enggan disebut namanya.
Masyarakat berharap agar penegak hukum tidak tebang pilih dalam menangani kasus korupsi di sektor pendidikan, karena dana BOS seharusnya menjadi tulang punggung pemerataan pendidikan, bukan sumber keuntungan pribadi.
Akan terus menelusuri perkembangan penyelidikan kasus dugaan korupsi dana BOS di SMKN 1 Siatas Barita dan meminta tanggapan resmi dari Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara, Kacabdis Wilayah IX, serta Kejaksaan Negeri Tapanuli Utara.
(Pewarta : KENNEDI FRANSISKO PAKPAHAN)

