Medan – MitraBhayangkara.my.id || Dugaan tindak pidana penganiayaan yang dilakukan Kepala Desa Pegagan Julu VI, Kecamatan Sumbul, Kabupaten Dairi, Edward Sorianto Sihombing, terhadap dua wartawan kembali menyingkap wajah kelam birokrasi desa. Peristiwa ini bukan sekadar konflik personal, melainkan alarm bahaya bagi kebebasan pers di Sumatera Utara.
Bangun M.T. Manalu, Sekretaris DPC SPRI Taput sekaligus pengurus DPD SPRI Sumut, bersama rekannya Abednego Manalu, awalnya datang dengan niat baik ke Kantor Desa Pegagan Julu VI. Mereka memperkenalkan diri, menyalami perangkat desa, dan hendak melakukan konfirmasi terkait sejumlah informasi.
Namun, alih-alih menyambut ramah, Kades Edward justru menunjukkan sikap alergi terhadap kehadiran wartawan. Dengan suara meninggi, ia meminta kartu identitas, surat tugas, hingga menumbuk meja sambil berteriak: “Jangan ajari saya sopan santun. Kamu tamu di sini. Panggil siapa ketua mu!”
Situasi makin panas ketika sang Kades mengancam akan mengerahkan Ormas Pemuda Pancasila (PP) untuk menghadang wartawan. Ancaman itu sontak memicu ketegangan. Identitas wartawan pun tak sempat diperiksa, buku tamu tak diberikan, dan suasana kantor desa berubah menjadi arena intimidasi.
SPRI: Ini Tindak Pidana, Bukan Sekadar Arogansi
Ketua DPD SPRI Sumut, Burju Simatupang, ST, SH, mengecam keras tindakan Kades Edward. Menurutnya, kejadian tersebut bukan hanya pelanggaran etika, tetapi sudah masuk ranah tindak pidana penganiayaan dan pelanggaran terhadap Undang-Undang Pers.
Burju menegaskan, tindakan tersebut melanggar UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers:
Pasal 4 ayat (3): Pers nasional berhak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi.
Pasal 18 ayat (1): Menghalangi kemerdekaan pers dapat dipidana 2 tahun penjara atau denda Rp500 juta.
Tak hanya itu, dugaan pemukulan dan intimidasi juga masuk dalam kategori penganiayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP.
“Ini bukan masalah kecil. Jika dibiarkan, akan menjadi preseden buruk bagi demokrasi. Wartawan adalah pilar keempat bangsa ini. Menganiaya wartawan sama dengan merusak kebebasan pers,” tegas Burju.
Bangun M.T. Manalu mengaku telah melaporkan kasus ini ke Polres Dairi. SPRI Sumut berjanji akan mengawal proses hukum hingga tuntas, memastikan tidak ada lagi pejabat desa yang bertindak arogan terhadap wartawan.
“Kami tidak akan tinggal diam. Ini bukan sekadar serangan pada pribadi wartawan, melainkan serangan terhadap demokrasi. SPRI berdiri di garda terdepan membela kebenaran,” ujar Burju dengan nada tegas.
Kasus Pegagan Julu VI ini menambah daftar panjang konflik antara wartawan dengan pejabat desa. Pertanyaannya, mengapa pejabat publik begitu alergi dengan kontrol pers? Apakah ada dugaan penyalahgunaan kewenangan yang ingin ditutupi?
Fakta bahwa Kades Edward langsung bereaksi emosional ketika dimintai klarifikasi mengundang tanda tanya besar. Apakah ini sekadar ego pribadi, atau ada persoalan lebih dalam yang ingin ditutup rapat dari sorotan media?
Masyarakat kini menunggu langkah tegas aparat penegak hukum. Jika dibiarkan, kasus ini bisa jadi preseden buruk yang melemahkan posisi wartawan di lapangan. Pemerintah daerah juga didesak menertibkan aparat desa agar tidak sewenang-wenang.
“Kebebasan pers adalah roh demokrasi. Menginjak wartawan sama dengan menginjak demokrasi. Kami akan terus kawal kasus ini sampai ke meja hijau,” pungkas Burju.
(Baslan Naibaho)