Pontianak,Kalbar,MitraBhayangkara.my.id – Penggeledahan rumah pribadi Gubernur terpilih Kalbar, Ria Norsan, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memang berakhir tanpa temuan bukti. Tokoh masyarakat Kalbar, Maman Suratman, menyebut hal ini sebagai tanda bahwa hukum berjalan sesuai aturan. Namun di balik rasa syukur itu, publik justru menyimpan pertanyaan besar: benarkah tidak ada apa-apa, atau ada sesuatu yang sengaja disembunyikan?
Publik Tak Puas, “Jumat Keramat” Jadi Harapan
Masyarakat Kalbar menilai, nihilnya temuan bukan berarti kasus dugaan korupsi proyek PUPR Mempawah berakhir. Banyak warga percaya penyimpangan anggaran tidak berhenti pada satu tahun, bahkan berlanjut hingga 2023.
“Jumat Keramat adalah doa rakyat. Kami menunggu KPK membuka tabirnya. Jangan sampai ada kesan kekuasaan bisa kebal hukum,” tegas seorang warga.
Bayangan Intimidasi Wartawan
Di tengah sorotan publik, muncul dugaan praktik kotor: upaya pembungkaman pers. Seorang oknum berinisial ADR, yang disebut sebagai koordinator Media Centre Ria Norsan, diduga menekan wartawan agar tidak memberitakan penggeledahan. Imbalannya? Uang dengan jumlah yang disebut “cukup menggiurkan”.
Jika benar terjadi, praktik ini bukan sekadar intervensi, tapi ancaman serius bagi kebebasan pers dan hak publik atas informasi. Pertanyaannya: siapa yang mengatur skenario ini, dan untuk kepentingan siapa?
Ujian Integritas KPK dan Demokrasi Kalbar
3 Oktober 2025 disebut-sebut sebagai hari penentu. Publik menunggu langkah KPK, apakah berani membuka secara terang benderang kasus PUPR Mempawah, atau justru terjebak dalam permainan politik yang mengorbankan integritas hukum.
“Demokrasi Kalbar sedang diuji. Jika pers dibungkam dan publik dikelabui, maka KPK gagal menjalankan amanahnya. Jumat Keramat harus jadi momentum hukum berdiri tegak tanpa pandang bulu,” pungkas seorang tokoh masyarakat.
Tim Redaksi MB