Modus operandi dari penipuan ini seolah menjadikan etika jurnalistik sebagai perisai, menggunakan kedok profesionalisme untuk menekan dan mengintimidasi ASN. Para pelaku tidak hanya sekadar meminta uang, tetapi juga mencatut nama lembaga penegak hukum (APH) dalam upaya memperkuat klaim mereka. Tindakan tersebut menggambarkan aspek *machiavellian tactics* dalam mencapai tujuan mereka, yaitu memanfaatkan kebingungan dan ketakutan korban dengan dalih investigasi yang tidak berdasar.
Dalam perspektif hukum, perbuatan semacam ini jelas merupakan pelanggaran serius. Berdasarkan 378 KUHP, aksi penipuan atau pemerasan dengan cara manipulasi, termasuk mengatasnamakan profesi atau institusi resmi, dapat dikenai sanksi pidana. Selain itu, penggunaan nama institusi APH secara sembarangan dengan tujuan menakuti calon korban juga melanggar ketentuan etika dan hukum terkait pencemaran nama baik.
Revie Sj, selaku Ketua IWOI kab Sambas Kalbar, menyayangkan kejadian ini dan mengimbau para ASN serta masyarakat umum agar selalu waspada. Ia menegaskan, setiap aksi yang mengatasnamakan profesi wartawan harus dicermati, mengingat setiap jurnalis sejati bekerja sesuai dengan *code of conduct* dan *ethical principles of journalism*. Bagi para ASN di Singkawang, kasus ini menjadi pengingat untuk senantiasa berhati-hati dalam menghadapi modus serupa yang berulang setiap tahun.
Meningkatkan kesadaran publik melalui edukasi menjadi solusi penting dalam melindungi diri dari penipuan. Media daring diharapkan berperan aktif dalam menyebarkan informasi dan edukasi, sehingga masyarakat dapat lebih siap menghadapi bentuk-bentuk manipulasi semacam ini. Membangun *public resilience* dan memperkuat pemahaman masyarakat tentang hak-hak serta kewaspadaan terhadap modus penipuan adalah kunci dalam menghadapi era yang penuh dengan disinformasi dan manipulasi.
"Kewaspadaan adalah benteng utama dalam menjaga integritas diri dari ancaman penipuan. Bersama, mari kita ciptakan ruang yang aman dan teredukasi demi Singkawang yang lebih baik."jurnalis (budiman)